Showing posts with label Syair. Show all posts
Showing posts with label Syair. Show all posts

Monday, December 13, 2010

The Poem For Everyone Soul

  Kali ini saya kepingin berbagi sebuah puisi. Hanya saja puisi ini dalam bentuk musik instrumen. Terserah bagi pendengar untuk memasukkan kata-kata yang sesuai dengan suara hati para pendengar semuanya.



  Musik ini di aransemen oleh Shoji Meguro dan digunakan dalam Game Persona. Di mana musik ini akan terdengar saat kita memainkan gamenya dan memasuki Velvet Room.


Thursday, December 9, 2010

Penyair

Dia adalah rantai penghubung
Antara dunia ini dan dunia yang akan datang
Kolam air manis buat jiwa-jiwa yang kehausan,
Dia adalah sebatang pohon tertanam
Di lembah sungai keindahan
Memikul bebuah ranum
Bagi hati lapar yang mencari.
Dia adalah seekor burung 'nightingale'
Menyejukkan jiwa yang dalam kedukaan
Menaikkan semangat dengan alunan
melodi indahnya

Dia adalah sepotong awan putih
Di langit cerah. Naik dan mengembang
Memenuhi angkasa
Kemudian mencurahkan kurnianya di atas
Padang kehidupan. Membuka kelopak
Mereka bagi yang menerima cahaya

Dia adalah malaikat yang diutus Yang Maha Kuasa
Mengajarkan Kalam Ilahi.
Seberkas cahaya gemilang tak kunjung padam.
Tak terliput gelap malam
Tak tergoyah oleh angin kencang
Ishtar, dewi cinta, meminyakinya dengan kasih sayang
Dan, nyanyian Apollo menjadi cahayanya

Dia adalah manusia yang selalu bersendirian,
Hidup serba sederhana dan berhati suci
Dia duduk di pangkuan alam mencari inspirasi Ilham
Dan berjaga di keheningan malam,
Menantikan turunnya ruh

Dia adalah si tukang jahit yang menjahit
Benih di hatinya di ladang kasih sayang
Dan kemanusiaan menyuburkannya
Inilah penyair yang dipinggirkan oleh manusia pada zamannya,
Dan hanya dikenali sesudah jasad ditinggalkan
Dunia pun mengucapkan selamat tinggal
Dan kembali ia pada Ilahi

Inilah penyair yang tak meminta apa-apa
Dari manusia kecuali seulas senyuman
Inilah penyair yang penuh semangat
Dan memenuhi cakrawala dengan kata-kata indah
Namun manusia tetap menafikan kewujudan keindahannya

Sampai bila manusia terlena?
Sampai bila manusia menyanjung
Penguasa yang meraih kehebatan
dengan mengambil kesempatan?
Sampai bila manusia mengabaikan mereka
Yang boleh memperlihatkan keindahan pada jiwa-jiwa mereka
Simbol cinta dan kedamaian?

Sampai bila manusia hanya akan
Menyanjung jasa orang yang sudah tiada?
Dan melupakan si hidup yang dikelilingi penderitaan
Yang menghambakan hidup mereka seperti lilin menyala
Bagi menunjukkan jalan yang benar bagi orang yang lupa

Dan oh para penyair
Kalian adalah kehidupan dalam kehidupan ini;
Telah engkau tundukkan abad demi abad
Termasuk tirainya.

Penyair...
Suati hari kau akan merajai hati-hati manusia
Dan, karena itu kerajaanmu adalah abadi.
Penyair... periksalah mahkota berdurimu....
Kau akan menemui kelembutan di sebalik
Jambangan bunga-bunga Laurel....

Saturday, November 13, 2010

Puisi Berjudul "Anak"

  Puisi ini adalah karya dari Kahlil Gibran. Dalam puisi ini Gibran menjelaskan makna sebenarnya tentang anak dengan bahasa yang sangat indah. Mari kita simak puisinya....

Anak

Dan seorang perempuan yang
menggendong bayi dalam dekapan
dadanya berkata, Bicaralah pada kami
perihal Anak.

Dan dia berkata :
Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu
Mereka adalah anak-anak kehidupan
yang rindu akan dirinya sendiri
Mereka dilahirkan melalui engkau
tapi bukan darimu
Meskipun mereka ada bersamamu
tapi mereka bukan milikmu

Pada mereka engkau dapat memberikan
cintamu, tapi bukan pikiranmu
Karena mereka memiliki pikiran
mereka sendiri
Engkau bisa merumahkan tubuh-tubuh 
mereka, tapi bukan jiwa mereka
Karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari
esok, yang tak pernah dapat engkau
kunjungi meskipun dalam mimpi
Engkau bisa menjadi seperti mereka, tapi
jangan coba menjadikan mereka sepertimu
Karena hidup tidak berjalan mundur dan
tidak pula berada di masa lalu

Engkau adalah busur-busur tempat
anakmu menjadi anak panah
yang hidup diluncurkan 
Sang pemanah telah membidik arah
keabadian, dan ia merenggangkanmu
dengan kekuatanNya, sehingga anak-anak
panah itu dapat meluncur dengan cepat
dan jauh.
Jadikanlah tarikan tangan sang pemanah
itu sebagai kegembiraan
Sebab ketika ia mencintai anak-anak panah
yang terbang, maka ia juga mencintai
busur teguh yang telah meluncurkannya
dengan sepenuh kekuatan

Thursday, November 11, 2010

Puisi Untuk Ibu

Ibu

Ibu merupakan kata tersejuk yang
dilantunkan oleh bibir-bibir manusia

Dan "Ibuku" merupakan sebutan terindah.
Kata yang semerbak cinta dan impian,
manis dan syahdu yang memancar dari
kedalaman jiwa.

Ibu adalah segalanya. Ibu adalah penegas
kita dikala lara, impian kita dalam
sengsara, rujukan kita dikala nista.

Ibu adalah mata air cinta, kemuliaan,
kebahagiaan dan toleransi. Siapa pun
yang kehilangan ibunya, ia akan
kehilangan sehelai jiwa suci
yang senantiasa merestui dan 
memberkatinya.

Alam semesta selalu berbincang dalam
bahasa ibu. Matahari sebagai ibu Bumi
yang menyusuinya melalui panasnya.

Matahari tak akan pernah meninggalkan 
bumi sampai malam merebahkannya
dalam lentera ombak, syahdu tembang
beburungan dan sesungaian.

Bumi adalah ibu pepohonan
dan bebungaan. Bumi menumbuhkan,
menjaga dan membesarkannya. Pepohonan
dan bebungaan adalah ibu yang tulus
memelihara bebuahan dan bebijian.

Ibu adalah jiwa keabadian bagi semua
wujud.

Penuh cinta dan kedamaian.


(Kahlil Gibran)

Monday, November 8, 2010

Kemarilah Kekasihku

Kemarilah kekasihku
Kemarilah Anna, dan jangan tinggalkan aku
Kehidupan lebih lemah daripada kematian, tetapi
Kematian lebih lemah daripada cinta....
Engkau telah membebaskan aku, Anna
Dari siksaan gelak tawa dan pahitnya anggur itu
Izinkan aku mencium tanganmu
Tangan yang telah memutuskan rantai-rantaiku
Ciumlah bibirku, ciumlah bibir yang telah mencoba untuk
Membohongi dan yang telah menyelimuti rahasia-rahasia hatiku
Tutuplah mataku dengan jari jemarimu yang telah berlumuran darah
Ketika jiwaku melayang ke angkasa, taruhlah pisau itu
Di tangan kananku dan katakan pada mereka
Bahwa aku telah bunuh diri karena putus asa dan cemburu
Aku hanya mencintaimu, Anna, dan bukan yang lain
Aku berpikir bahwa tadi lebih baik untuk mengorbankan hatiku,
Kebahagiaanku, kehidupanku daripada melarikan diri
Bersamamu pada malam pernikahanmu.
Ciumlah aku, kekasih jiwaku....
Sebelum orang-orang melihat tubuhku....
Ciumlah aku.... ciumlah, Anna....


(Oleh : Kahlil Gibran)

Friday, September 24, 2010

Aku Dan Jiwaku

  Jiwaku dan aku pergi ke laut yang luas untuk mandi. Setelah tiba di tepi pantai, kami pergi mencari tempat sepi dan tersembunyi, lepas dari tatapan manusia. Tetapi ketika kami berjalan menyusur, kami melihat seorang laki-laki sedang duduk terpekur di atas batu karang abu-abu mengambil segenggam garam dari tasnya kemudian melemparkannya ke laut.
  "Ia seorang pesimis, yang hanya melihat potret kehidupan dari sisi gelapnya," kata jiwaku, "Mari kita tinggalkan tempat ini. Kita tidak dapat mandi di sini". Kami berjalan terus hingga tiba di sebuah teluk. Di sana kami melihat seorang laki-laki berdiri di atas sebongkah karang putih, memegang sebuah kotak, lalu mengambil gula dan melemparkannya ke laut. "Dia seorang optimis, selalu mencari hal-hal yang tak mungkin," kata jiwaku, "Dan ia juga tidak boleh melihat tubuh telanjang kita."
  Selanjutnya kami berjalan terus melangkah. Dan di pantai kami melihat seorang laki-laki memungut seekor ikan mati dan dengan iba ia mengapungkannya kembali ke dalam air. "Kita tak dapat mandi di hadapannya," kata jiwaku, "Ia adalah seorang dermawan lagi penyayang". Dan kami berjalan terus. Kemudian kami tiba di sebuah tempat di mana kami melihat seorang laki-laki yang menorehkan gambar bayangan dirinya pada sehampar pasir putih. Ombak-ombak besar datang menerjangnya. Tetapi ia terus menggambarnya lagi dan lagi.
  "Ia seorang mistikus, selalu menciptakan berhala dari imajinasinya sendiri lalu menyembahnya." kata jiwaku, "Mari kita tinggalkan dia". Dan kami terus menyusuri jalan, sampai tiba di sebuah teluk kecil yang sepi. Kami melihat seorang laki-laki menyendok buih dan meletakkannya ke dalam mangkuk batu pualam berwarna putih. "Ia seorang idealis, menenun kain untuk pakaiannya dari benang laba-laba" kata jiwaku. "Tentunya iapun tidak boleh melihat kita telanjang".
  Dan kami terus berjalan. Tiba-tiba kami mendengar suara berteriak, "Inilah laut. Laut yang dalam. Lautan yang maha luas tak bertepi." Ketika kami sampai di tempat suara itu, nampak seorang laki-laki yang punggungnya menghadap ke lautan, dan telinganya disumbat dengan kerang, sedang mendengar bisikan gaib. Jiwaku berkata, "Ayo kita pergi saja. Ia seorang realis, yang menghadapkan punggungnya pada semua yang tiada terjangkau, yang menyibukkan dirinya sendiri dengan pecahan-pecahan."
  Lalu kami pun berlalu. Di sebuah tempat di antara hamparan batu-batu karang tampak seseorang laki-laki dengan kepalanya terkubur di pasir. Dan aku berkata pada jiwaku, "Kita dapat mandi di sini, karena ia tidak akan melihat kita."
  "Tidak," kata jiwaku, "Karena dialah yang paling mematikan di antara mereka semua. Ia seorang puritan. Yang menyembunyikan diri dari tragedi kehidupan, sementara kehidupan menyembunyikan keindahan dan kenikmatannya darinya."
  Kemudian sebuah duka cita yang memilukan hati menyusup ke wajah jiwaku, dan masuk ke suaraku. "Ayo kita pergi saja," katanya, "Karena tak ada tempat yang tersembunyi dan sepi di mana kita dapat mandi. Aku tak rela angin mengibas-ibaskan rambut pirangku, atau menelanjangi tubuh putihku di udara, tak pula ku rela cahaya menyingkap ketelanjanganku yang suci." Kemudian kami meninggalkan laut itu untuk mencari laut yang lebih luas.

(Kahlil Gibran

Wednesday, September 8, 2010

Aku Dengan Kekalahanku


Kekalahan, kekalahanku
Kesunyian dan kesendirianku
Engkau lebih berharga bagiku
Daripada seribu kemenangan
Dan lebih manis bagi hatiku
Daripada seluruh cahaya kemuliaan dunia

Kekalahan, kekalahanku
Pengetahuan diriku dan tantanganku
Karena kau, aku tahu bahwa diriku masih muda dan tangkas
Dan tak terperangkap oleh kejayaan yang memabukkan
Dalam dirimu aku telah merasakan kesendirian
Dan menikmati cacian dan hinaan

Kekalah, kekalahanku
Pedang kilauanku dan perisaiku
Di matamu aku telah membaca
Ditahtakan berarti diperbudak
Dimengerti berarti disetarakan
Dan dipetik berarti mencapai kematangan
Laksana buah yang ranum jatuh dan disantap

Kekalahan, kekalahanku
Karibku yang pemberani
Engkau akan mendengarkan tembang kenanganku
Dan tangisanku diiringi keheninganku
Tak seorangpun selain engkaulah
Yang akan berbicara kepadaku mengenai kepakan sayap
Gemuruh laut, debur ombak
Dan mengenai gunung-gunung yang terbakar di malam hari
Engkau sendiri
Yang akan menggapai derap langkahku
Beserta jiwaku yang berbatu

Kekalahan, kekalahanku
Keteguhan hatiku yang tak pernah luntur
Engkau dan aku akan tertawa
Membahana bersama-sama dengan badai
Dan bersama-sama kita akan
Menggali pusara bagi semua yang mati dalam diri kita
Kita akan berdiri di bawah matahari dengan tekad kokoh
Dan kita akan menjadi berbahaya

Tuesday, June 22, 2010

Corat-Coret Cinta

Kurasakan aku semakin lelah terjerat lingkaran arus sirkus sandiwara ini. Keadaan ini telah mempengaruhi keseluruhan jiwaku. Membuat jati diri dan kebenaran tak nampak dalam diriku............

Lebih baik aku tertidur dan bermimpi seolah-olah ini tak terjadi. Agar aku tak merasakan kekecewaan dan patah hati. Tapi cinta telah membangunkanku, dari mimpi-mimpiku. Ia membangunkanku dengan suaranya yang lembut. Ia juga bertutur betapa ia senang dan bangga jika aku bersemangat dalam kehidupanku.

Cinta itu yang kutemukan dalam dirimu. Cinta itu yang membuatku tak buta, karena cinta memang tidak buta. Cinta yang mampu memancarkan cahayanya menembus mega mendung jiwa hingga tempiaskan sinarnya di leladangan hatiku.

Meski hembusan cinta yang ku tiupkan bertepuk sebelah tangan, aku berterima kasih padamu. Karena hadirmu yang sekelebat dalam hidupku telah leburkan gunung es hatiku dalam samudera kehangatan kasih dan sayang.
(@my facebook notes)

Monday, May 31, 2010

Terbaik Untukmu

Duhai Engkau sang dewi ciptaan raja
Dari langit kutemu keindahan
Dan kuharap kamu mau jadi pendampingku selamanya
   Dengarkanlah setiap kata yang terucap
   Mengertilah karena hidup takkan semudah kau kira
   Kau harus berlari mengejarnya

Ku takkan berhenti beri cinta dan rinduku
Sampai kau mengerti dan pahami semua yang kuberikan

   Jangan kau pergi dariku bila waktuku sedikit untukmu
   Setiap hembusan nafasku kulakukan yang terbaik untukmu

Duhai engkau sang dewi ciptaan raja
Mengertilah karena hidup takkan semudah yang kau kira
Kau harus berlari mengejarnya

Tuesday, April 27, 2010

Aku dan Tuhan

  Dahulu kala, ketika ucapanku yang pertama kali menggetarkan bibirku, aku mendaki puncak gunung kudus dan berkata pada Tuhan, "Tuhan, aku adalah hamba-Mu. Kehendak-Mu yang tersembunyi adalah hukumku dan aku akan taat kepada-Mu selamanya."
  Tetapi Tuhan hanya membisu, seperti badai topan melintas dengan segenap kedahsyatannya.
  Dan setelah seribu tahun aku baru kembali mendaki gunung kudus itu dan berbicara kepada Tuhan, aku berkata, "Sang Pencipta, aku adalah makhluk ciptaan-Mu. Kau telah ciptakan aku dari seonggok tanah liat, tak ada yang kekal di Bumi dan kepada-Mu semua akan kembali."
  Dan Tuhan tak menjawab, tetapi hanya ribuan sayap burung melayang kesana kemari di atas cakrawala pelangi.
  Dan setelah seribu tahun aku kembali mendaki gunung kudus itu dan berbicara kepada Tuhan, aku berkata "Bapak, aku adalah putra-Mu. Dalam pelukan cinta dan kasih sayangmu aku terlahir, dan dengan cinta dan kebaktian-Mu pula aku akan mewarisi kerajaan-Mu."
  Dan Tuhan lagi-lagi tak bergeming. Seperti gugusan kabut yang menyelimuti bukit, Ia pun berlalu begitu saja.
  Dan setelah seribu tahun aku kembali lagi mendaki gunung kudus itu, kembali menghadap Tuhan dan berkata, "Tuhanku, engkau adalah tujuanku dan junjunganku. Aku adalah masa silam-Mu, dan keindahan-Mu adalah masa depanku. Aku adalah akar-Mu yang menghujam di Bumi dan keindahan-Mu adalah kuncup bunga yang mekar di langit, dan bersama-sama kita tumbuh di hadapan wajah matahari."
  Kemudian Tuhan menghampiriku, dan Dia membisikkan kata-kata manis di telingaku, selaksa lautan memeluk selokan yang bermuara ke pesisir pantai, Tuhan pun memelukku dengan erat.
  Dan ketika kau menyusuri lembah-lembah dan daratan-daratan, Tuhan pun berada di sana. (Kahlil Gibran)

Selamat Ulang Tahun, Kasih Hatiku

  Tak terasa waktu terus mengajakku berjalan. Ia mengajakku berjalan menuju kesempurnaan. Tak terasa pula telah 8 tahun kita berpisah. Sekian lama waktu yang telah dijalani membuatku memetik banyak pelajaran dalam kehidupanku. Sekian lama waktu yang telah dijalani belum mampu membuatku berpaling darimu. Kadang kurasa memang aneh, kau seperti candu, tapi juga penyemangat dalam hidupku walau kita belum bisa saling bertemu. 
  Besok, adalah tepat hari yang istimewa bagimu. Sebenarnya aku ingin berada di sampingmu melewatkan saat-saat bahagiamu. Tak hanya saat bahagia, tapi juga saat kau bersedih hati. Kau memang teristimewa bagiku. Selamat ulang tahun, kasih hatiku. Maaf, aku belum bisa mengatakannya langsung kepadamu. Tapi ketahuilah, bahwa dalam doaku terselip namamu. Selamat berbahagia, kasih hatiku. Tersenyumlah, karena dengan senyummu duniaku dan duniamu menyatu dalam ruang rindu.

Tuesday, April 20, 2010

Berperang Demi Cinta

 
  Ketika bintang senjakala mulai menabur serbuk sepi, musuh-musuh telah melarikan diri bersama luka tersayat-sayat akibat sengatan senjata pedang dan tusukan tombak yang menghunus tubuh. Para pendekar suku kami mengibarkan bendera kemenangan dan melantunkan lagu-lagu semangat juang selaras dengan irama hentakan kuda-kuda perang di atas lembah bebatuan. 
  Rembulan mulai beranjak dari peraduan Fam El-Mizab, sebuah gunung yang kekuatan dan ketinggiannya hanya dapat didaki oleh semangat jiwa-jiwa yang bersemi, dan hutan cedar pegunungan itu terhampar laiknya sebuah medali kehormatan yang disematkan di dada Lebanon.
  Para prajurit mulai melanjutkan pawai di bawah cahaya rembulan yang bersinar di atas tenda-tenda senjata mereka. Gua-gua yang terpencil menggemaung dalam lagu-lagu pujian dan kemenangan, hingga kesemuanya meraih kaki lereng bebukitan. Di sana mereka tergilas oleh bebatuan kelabu yang seolah hasil pahatan seorang ahli.
  Di dekat kuda mereka tampak sebuah jenazah, di atas permadani bumi ai terbentang berlumur darah. Panglima pasukan berteriak "Tunjukkan padaku pedang lelaki itu dan kalian akan aku beritahu siapa pemilik tunggal pedang tersebut."
  Beberapa penunggang kuda turun dan mengelilingi mayat lelaki itu sampai kemudian dari mereka berkata pada panglima "Jari-jarinya menggenggam kokoh pangkal pedang. Mustahil kita akan memperoleh keterangan perihal kematiannya."
  Yang lainnya bertutur, "Pedangnya telah berlumuran darah hingga menyembunyikan logamnya."
  Orang ketiga menambahkan, "Darahnya beku di tangan hingga menggapai pangkal pedangnya seolah keduanya telah menyatu."
  Kemudian panglima pasukan turun dari kudanya dan berjalan mendekati sosok mayat itu, lalu berkata, "Angkat kepala lelaki itu dan biarkan mentari bulan menyibak tirai kegelapan wajahnya sehingga kita dapat mengorek keterangan asal-usul keluarganya." Para pasukan komandan segera melaksanakan titah tuannya. Wajah orang yang terbunuh itu nampak dari belakang kabut kematian dengan menunjukkan tanda-tanda bahwa dia merupakan seorang keturunan ningrat terhormat. Itulah wajah sosok penunggang kuda yang perkasa dan jantan. Wajah itu adalah wajah seorang lelaki yang tengah berjuang melawan penderitaan sambil bercengkrama dalam kegembiraan, itulah wajah yang semangatnya membara saat berhadapan dengan musuh-musuhnya, menghadapi kematian dengan tersenyum, wajah seorang pahlawan dari Lebanon, yang pada suatu hari telah meraih kemenangan, namun-seribu sayang-tak sedikit pun ia sempat ikut merayakan kemenangannya bersama sahabat-sahabatnya.
  Lantas mereka menanggalkan penutup kepala yang terbuat dari sutera dan membersihkan debu peperangan dari wajahnya yang pucat pasi, dan panglima pasukan itu pun menangis terisak, menahan pilu "Oh, ternyata dia adalah putera Assaaby, pasti seluruh keluarganya merasa sangat kehilangannya!" Mereka menyebut nama itu berulang kali, mendesau panjang. Lalu keheningan menyelimuti tiap-tiap hati dan jiwa, semuanya hanyut tenggelam dalam anggur kemenangan, ketenangan, dan sunyi senyap. Karena mereka telah melihat sesuatu yang teragung melebihi keagungan kemenangan, dan keagungan itu berada pada diri sang pahlawan yang telah tiada.
  Laksana patung pualam, mereka berdiri dalam situasi yang begitu menakutkan, lidah mereka kelu, pahit dalam kebisuan dan menenggelamkan pita suara mereka. Inilah kematian jiwa seorang pahlawan pemberani. Tangis dan ratapan sedih diperuntukkan bagi para wanita, rintihan dan air mata diperuntukkan bagi anak-anak mereka. Tidaklah pantas seorang lelaki pendekar yang menggenggam pedang namun terlena dalam penderitaan berbalut kesunyian sampai mencengkeram keteguhan hati seperti cengkraman kuku elang pada kerongkongan mangsanya.
  Kesunyian semakin menambah suasana derita sedih jiwa-jiwa yang tengah menjerit pilu, menambah kemalangan yang berseliweran dalam jurang ngarai yang curam. Kesunyian itu memproklamirkan kedatangan suatu prahara. Namun prahara enggan menampakkan wujud sebenarnya lantaran kesunyian itu lebih kuat ketimbang prahara itu sendiri.
  Mereka melepaskan jubah pahlawan muda itu, terlihatlah nganga luka di mana kematian membentang di atas kuku-kuku besinya. Bagai bibir yang sedang berbicara, dalam keheningan malam yang syahdu, luka nganga tampak di dada mayat yang terbujur, mayat pahlawan pemberani.
  Sang panglima pasukan menghampiri mayat lelaki itu dan berlutut di bawah duli kakinya. Ia melayangkan tatapannya begitu tajam pada mayat yang terbunuh tersebut. Akhirnya dia menemukan syal yang disulam dengan benag-benang emas yang terikat pada lengannya. Sang panglima ternyat dapat mengenali tangan yang pernah memintal sutra dan jari-jari yang telah menenun benag-benang syal itu. Dia menyembunyikan syal itu di balik jubahnya lalu menariknya perlahan-lahan, menyembunyikan wajahnya yang tergores dengan tangan yang menggigil gemetaran. Dengan tangan yang gemetaran itulah yang akhirnya selalu memenggal kepala musuh-musuh. Sekarang tangan gemetaran itu menyentuh ujung selendang yang diikat oleh jari-jari sang pencinta, kemudian membungkus lengan pahlawan yang terbunuh itu, yang akan kembali pada kekasih tambatan hatinya dengan tubuh tanpa nyawa, dibakul di atas pundak para sahabat-sahabatnya.
  Sementara itu sang komandan ragu dan bimbang, mempertimbangkan perihal dua sesuatu. Kedua sesuatu itu adalah antara tirani sebuah kematian dan rahasia-rahasia cinta. Salah seorang dari mereka mengusul, "Mari kita gali pusaranya di bawah pohon Oak sehingga pohon Oak itu akan meminum darahnya dan cabang-cabang pohon itu menerima makanan dari sisa-sisa jasadnya. Hal itu akan menambah kekuatan, menjadi keabadian dan berdiri sebagai tanda yang tengah berkhutbah pada bukit-bukit dan lembah-lembah lantaran keberanian dan kekuatannya."
  Yang lain berkata lagi, "Sebaiknya kita bawa saja lelaki ini ke hutan Cedar dan menguburnya di gereja. Di sana tulang-tulangnya akan dijaga abadi oleh bayang-bayang kayu salib yang melintang."
  Seseorang yang lainnya berkata. "Kuburkan saja dia di sini karena darahnya pasti menyatu dengan bumi. Biarkan pedangnya tetap sudi menemaninya dalam rangkulan tangan kanannya, tanamlah tombaknya di sampingnya dan bunuhlah kudanya di atas pusaranya dan biarkanlah senjatanya bersorak-sorak dalam kemenangan."
  Namun yang lain keberatan, "Jangan kuburkan pedang yang telah berlumuran darah itu dengan darah musuh, demikian pula jangan kalian membunuh kuda yang telah menahan kematian di medan perang. Jangan biarkan pedang yang kerap kali digunakan untuk berperang melawan musuh berada di hutan belantara, akan tetapi bawalah lelaki itu bersama kuda dan pedangnya kepada sanak keluarganya sebagai harta warisan yang termahal dan paling berharga."
  "Marilah kita semua berlutut di hadapannya dan memanjatkan doa-doa Nazarene bahwa Tuhan pasti memaafkannya dan memberkati kemenangan yang kita raih," kata yang lain.
  "Marilah kita naikkan jasadnya ke atas pundak kita karena ddengan perisai dan tombak ini kita dapat mentandu jenazahnya sambil kita mengelilingi bukit kemenangan ini, menyanyikan lagu-lagu semangat juang. Biarlah bibir-bibir lukanya tersenyum bahagia sebelum nantinya dia dikuburkan di hamparan bumi pekuburan." Seorang sahabat lain menimpali.
  Dan yang lain berkata, "Mari kita naikkan mayatnya di atas bebannya dan mendukung dia dengan tengkorak-tengkorak musuh yang telah meninggal dan sambutlah dia dengan tombak miliknya lalu kita bawa ke desa kemenangan. Ketahuilah, tidaklah dia pernah berkurban untuk kematian sampai ia dibebani jiwa-jiwa sang musuh."
  Berkata yang lain, "Kemarilah, di kaki gunung ini, di kaki gunung inilah kita akan menguburnya. Gema dari gua-gua akan bersahabat bersamanya dan bisikan ricik-ricik air akan merestui dirinya sebagai penghibur abadi. Tulang-tulangnya akan beristirahat dalam hutan belantara di mana telapak malam yang sunyi menjadi cahaya dan kelembutan baginya."
  Seorang yang lain berkeberatan dan berkata, "Tidak, jangan kalian rela meninggalkan dia seorang diri di di tempat lengang begini, karena siapapun yang mendiami tempat ini pasti akan merasa jemu dan digilas kesepian. Tetapi bawalah dia ke tempat tanah pemakaman desa. Bukankah di sana pula roh para leluhur kita akan menjadi sahabat sejati dan akan berbicara kepadanya ketika malam-malam sunyi mencekam dan menuturkan kisah cerita peperangan dan bagaimana mereka meraih kemenangan dari tangan musuh-musuh mereka."
  Mendengar perdebatan sengit yang tak kunjung berakhir, maka panglima pasukan berjalan ke tengah serdadu dan menyampaikan penjelasan kepada mereka semua apa arti sebuah kesunyian. Dia mendesah panjang dan mulai berkata, "Jangan ganggu dia dengan kenangan akan peprangan atau pun berbisik ke telinga jiwanya, yang mengungkungi kita akan kisah pedang dan tombak. Sudah terlalu banyak air mata dan kesedihan yang membanjiri hamparan bumi ini. Tiadalah yang lebih terhormat ketimbang membawanya dalam keadaan damai dan tenang menuju tempat di mana ia dilahirkan, di mana jiwa pencinta menantikan kepulangannya.....sebuah jiwa gadis perawan suci yang tengah menunggu kembalinya san kekasih dari medan perang. Marilah ia kita kembalikan pada wanita pujaan hatinya itu sehingga sang kekasih tidak lebih merana dan tak mengingkari paras wajahnya dan mengingatkan bekas-bekas ciuman perpisahan di keningnya."
  Mereka lalu beramai-ramai menggotong jenazah lelaki itu di atas pundak mereka dan menyusuri jalan-jalan dengan bisu, hening tanpa gema suara, setiap kepala tertunduk takzim dan hikmat, tampaklah mata-mata sedih menatap sayu. Tidak ketinggalan pula di belakang mayat itu ikut kuda tunggangannya, berjalan sambil meneteskan kristal-kristal air mata kerinduan buat tuannya yang tercinta, dengan ringkikan pilu dari suatu waktu ke waktu. Gua-gua pun ikut mendoakan jenazah yang ditandu itu menggemakan diri mereka bahwa mereka sudi menjadi hati yang ikhlas berbagi kesedihan dan duka cita bersamanya. Melalui jalan-jalan berbukit terjal, dihiasi bulan purnama, prosesi kemenangan berjalan penuh hikmat di belakang arak-arakan kematian dan ruh-ruh Cinta membimbing jalan menuju sepasang sayap-sayap yang tercabik-cabik.
(Kahlil Gibran, Berperang Demi Cinta