Dengan amat perlahan, Al-Mustafa beringsut ke makam ibunya di kala malam mulai beranjak tua. Ia bersimpuh di bawah pohon cedar yang merindang di sisinya. Tiba-tiba semburat cahaya berpijar di cakrawala sehingga taman itu laksana bermandikan sinar yang menyerupai permata kemilau di atas perut bumi. Dalam kesendirian jiwanya, Al-Mustafa merintih dan mengisak. "Beban hebat adalah jiwaku yang bergantung bersama bebuahan," gumamnya. "Siapakah yang akan tiba untuk memetiknya hingga ia terpuaskan oleh saripatinya? Apakah tak ada lagi manusia yang berpuas, luhur budinya serta cemerlang hatinya yang akan berkunjung untuk berbuka puasa di kala pemasrahan panen pertamaku kepada mentari yang akan sanggup mengikis beban hebatku ini?
Jiwaku bergelimangkan anggur masa lalu. Apakah tak ada lagi manusia yang akan mendatangiku dan mereguknya sampai habis? Cermatilah lelaki yang menengadahkan tangannya kepada orang-orang yang lalu lalang sedangkan telapaknya sarat dengan intan berlian di sana, yang mematung di perempatan jalanan. Suaranya berkumandang menyebut orang-orang itu dengan nada penuh pengharapan : 'Kasihanilah aku, Tuan, ambillah semua ini. Tolong renggutlah ini semua dan berilah daku penghiburan.'
Tak ada satu pun yang rela menjamah sesuatu pun dari tapak tangannya. Mereka hanya memandangnya sekilas. Sungguh akan lebih baik bila ia menjadi pengemis yang menengadahkan tangannya untuk menerima suatu pemberian dari orang-orang yang berlalu lalang, kendati ia akan gemetaran lantaran tidak mendapatkan apapun untuk dibawa pulang ke rumah hatinya, dibandingkan menyodorkan tangannya yang sarat dengan beragam hadiah tetapi tak akan ada yang sudi menerimanya. Lihatlah seorang pangeran yang penuh belas kasihan yang sangat baik hati yang memancang tenda suteranya di antara pegunungan dan geraian pasir membentang. Diperintahnya para pelayan untuk menciptakan api sebagai isyarat bagi orang-orang asing dan para pengelana. Dititahkannya kepada para budak untuk mencermati jalan-jalan agar menyambut tamu-tamu yang akan mampir. Namun lantaran jalan-jalan di gurun pasir itu sangatlah sepi, maka mereka tak menemukan siapa pun.
Sebaiknya pangeran itu menjadi rakyat jelata yang mencari makanan dan tempat perlindungan.Akan lebih berharga bila dia menjadi seorang pengelana yang tak berbekal apapun kecuali tongkat dan periuk tanah. Dia akan bersua dengan kawan-kawan sepertinya serta penyair-penyair yang akan berbagi warta tentang kemiskinan, pengalaman dan cita-cita mereka di kala malam telah merangkak ke jantung angkasa.
Sementara di sebelah sana, tataplah kuat-kuat, ada seorang putri seorang raja yang perkasa yang senatiasa mengenakan gaun sutera, rangakaian mutiara dan batu-batu permata serta mengusapi rambutnya dengan minyak kesturi dan memandikan jari-jarinya dengan cairan kuning kencana di kala akan tidur. Dia menuruni anak-anak tangga istana yang menjulang ke angkasa, melangkah damai menuju sebuah taman sehingga embun malam berhasil menjilati alas kakinya yang kemilau keemasan.
Puteri raja yang agung itu menelisiki cinta di taman dalam keheningan malam. Di dalam kerajaannya yang sangat luas, tak ada seorangpun yang bisa dijadikannya seorang kekasih. Maka akan lebih menyenangkan baginya bila dia menjadi anak seorang pengolah ladang, yang melepaskan ternak-ternaknya ke padang rumput dan menggiring pulang di kala senja ke rumah ayahnya dengan debu-debu jalanan yang menyelimuti tapak-tapak kakinya serta hanyalah bauan anggur yang mengolesi bajunya. Tetapi ketika matahari bersembunyi di balik gemawan mega cakrawala serta malaikat-malaikat malam melanglangi permukaan dunia, dia akan bersijingkat diam-diam nan lamat-lamat menuruni lembah di bibir sungai di mana sang kekasih tengah menantinya.
Sungguh akan lebih jauh membahagiakan baginya menjadi seorang biarawati yang membakar hatinya sebagaimana dibakarnya dupa-dupa agar dapat melayang ke angkasa sehingga jiwanya menjadi kecapaian. Atau pula sebagaimana lilin yang semburat cahayanya menjulang ke arah cahaya yang lebih kudus, bersetubuh dengan mereka yang memuja dan mencintai serta dicintainya. Akan menjadikannya lebih bersahaja untuk menjadi seorang wanita tua yang berkubang dalam kehangatan kilat cahaya mataharisambil mencoba menghadirkan kembali kenangan-kenangan tentang seorang lelaki yang telah memberinya dongeng masa belia."
Malam kian tua. Al-Mustafa kian berkubang dalam gulita malam yang pekat. Wujud jiwanya menghampiri gumpalan awan. Dia kembali meratap.
"Beban berat adalah jiwaku yang matang mengiringi ranumnya bebuahan. Masih adakah kini manusia yang sudi memetiknya untuk memakannya sampai ia terpuaskan oleh saripatinya?
Jiwaku mengalir bersama tumpahnya anggur. Masih adakah kini manusia yang rela untuk menuangkannya dan mereguknya agar menjadi pembunuh tikaman panas gurun pasir?
Tentu lebih aku bila aku menjelma sebatang pohon yang kerontang yang tak mengerami kembang dan buah, lantaran gelimang nestapa jauh lebih menggetirkan daripada hidup yang mandul. Serta lebig mengiris daripada kesengsaraan orang kaya yang tak ada seorang manusia pun yang rela menerima kekayaannya dibandingkan kedukaan para pengemis yang tak didermai oleh siapa pun.
Lebih mulia aku menjadi sumur kering kerontang yang dilempari bebatuan oleh banyak orang dibandingkan sebuah sumber air kehidupan yang cuma dilewati manusia tanpa pernah meresapi kenestapaannya, karena semua kenyataan itu akan jauh lebih gampang untuk dilahirkan.
Lebih menyenangkan bila aku menjelma ilalang yang terhempas oleh jejakan kaki-kaki dibandingkan menjadi harpa berdawai perak yang bersemayam di dalam sebuah rumah yang dimiliki oleh orang yang tak memiliki jari-jari dengan anak-anaknya yang tuli.
(Kahlil Gibran)
Sebaiknya pangeran itu menjadi rakyat jelata yang mencari makanan dan tempat perlindungan.Akan lebih berharga bila dia menjadi seorang pengelana yang tak berbekal apapun kecuali tongkat dan periuk tanah. Dia akan bersua dengan kawan-kawan sepertinya serta penyair-penyair yang akan berbagi warta tentang kemiskinan, pengalaman dan cita-cita mereka di kala malam telah merangkak ke jantung angkasa.
Sementara di sebelah sana, tataplah kuat-kuat, ada seorang putri seorang raja yang perkasa yang senatiasa mengenakan gaun sutera, rangakaian mutiara dan batu-batu permata serta mengusapi rambutnya dengan minyak kesturi dan memandikan jari-jarinya dengan cairan kuning kencana di kala akan tidur. Dia menuruni anak-anak tangga istana yang menjulang ke angkasa, melangkah damai menuju sebuah taman sehingga embun malam berhasil menjilati alas kakinya yang kemilau keemasan.
Puteri raja yang agung itu menelisiki cinta di taman dalam keheningan malam. Di dalam kerajaannya yang sangat luas, tak ada seorangpun yang bisa dijadikannya seorang kekasih. Maka akan lebih menyenangkan baginya bila dia menjadi anak seorang pengolah ladang, yang melepaskan ternak-ternaknya ke padang rumput dan menggiring pulang di kala senja ke rumah ayahnya dengan debu-debu jalanan yang menyelimuti tapak-tapak kakinya serta hanyalah bauan anggur yang mengolesi bajunya. Tetapi ketika matahari bersembunyi di balik gemawan mega cakrawala serta malaikat-malaikat malam melanglangi permukaan dunia, dia akan bersijingkat diam-diam nan lamat-lamat menuruni lembah di bibir sungai di mana sang kekasih tengah menantinya.
Sungguh akan lebih jauh membahagiakan baginya menjadi seorang biarawati yang membakar hatinya sebagaimana dibakarnya dupa-dupa agar dapat melayang ke angkasa sehingga jiwanya menjadi kecapaian. Atau pula sebagaimana lilin yang semburat cahayanya menjulang ke arah cahaya yang lebih kudus, bersetubuh dengan mereka yang memuja dan mencintai serta dicintainya. Akan menjadikannya lebih bersahaja untuk menjadi seorang wanita tua yang berkubang dalam kehangatan kilat cahaya mataharisambil mencoba menghadirkan kembali kenangan-kenangan tentang seorang lelaki yang telah memberinya dongeng masa belia."
Malam kian tua. Al-Mustafa kian berkubang dalam gulita malam yang pekat. Wujud jiwanya menghampiri gumpalan awan. Dia kembali meratap.
"Beban berat adalah jiwaku yang matang mengiringi ranumnya bebuahan. Masih adakah kini manusia yang sudi memetiknya untuk memakannya sampai ia terpuaskan oleh saripatinya?
Jiwaku mengalir bersama tumpahnya anggur. Masih adakah kini manusia yang rela untuk menuangkannya dan mereguknya agar menjadi pembunuh tikaman panas gurun pasir?
Tentu lebih aku bila aku menjelma sebatang pohon yang kerontang yang tak mengerami kembang dan buah, lantaran gelimang nestapa jauh lebih menggetirkan daripada hidup yang mandul. Serta lebig mengiris daripada kesengsaraan orang kaya yang tak ada seorang manusia pun yang rela menerima kekayaannya dibandingkan kedukaan para pengemis yang tak didermai oleh siapa pun.
Lebih mulia aku menjadi sumur kering kerontang yang dilempari bebatuan oleh banyak orang dibandingkan sebuah sumber air kehidupan yang cuma dilewati manusia tanpa pernah meresapi kenestapaannya, karena semua kenyataan itu akan jauh lebih gampang untuk dilahirkan.
Lebih menyenangkan bila aku menjelma ilalang yang terhempas oleh jejakan kaki-kaki dibandingkan menjadi harpa berdawai perak yang bersemayam di dalam sebuah rumah yang dimiliki oleh orang yang tak memiliki jari-jari dengan anak-anaknya yang tuli.
(Kahlil Gibran)
No comments:
Post a Comment