Showing posts with label Prosa. Show all posts
Showing posts with label Prosa. Show all posts

Sunday, July 25, 2010

Hikayat Al-Mustafa (Bagian Keenambelas - Akhir)

 
  Sewaktu menapakkan kakinya di perbukitan, malam telah melanglangi permukaan tanah. Laju kakinya telah membawanya mengembarai kabut. Di antara karang dan batang pohon putih yang tersembunyi dari segala penglihatan, Al-Mustafa berdiri sambil bergumam :
  "Duhai kabut, saudara perempuanku, nafas suci yang belum bertunas, aku kembali mengunjungimu, nafas sepi dan kudus, seperti kata-kata yang belum terlontarkan.
  Duhai kabut, saudara perempuanku yang bersayap, tibalah saatnya kita untuk bersatu. Kita akan senantiasa bersatu sampai kehidupan selanjutnya menyaput kita. Fajar akan menelungkupkanmu seperti tetes-tetes embun yang berpelukan di taman-taman. Aku akan menjelma bayi dalam pelukan ibu, kemudian kita akan saling membagi kenangan.
  Duhai kabut, saudara perempuanku, dengan sekerat hati yang mengumandangkan deburannya dari lubuk yang paling dalam seperti hatimu, aku kembali datang. Sebuah ambisi yang bergejolak tapi tak memiliki tujuan, laksana ambisimu. Sebuah pikiran yang belum terleburkan, seperti pikiranmu.
  Duhai kabut, saudara perempuanku, puteri sulung ibu. Dalam telapak tanganku, masih kugenggam benih-benih hijau untuk kutaburkan. Bibirku mengatup rapat buat mendendangkan irama yang engkau harapkan. Tapi aku tak menjinjing apapun, termasuk suara, lantaran tanganku buta dan bibirku kaku.
  Duhai kabut, saudara perempuanku, betapa besar kecintaanku pada dunia, sebagaimana dunia yang teramat sangat mencintaiku. Senyumanku tersimpul di bibirnya dan airmatanya mengalir di tanggul mataku. Tetapi terdapat sebuah jurang maha terjal yang tak kuasa disambungkan jembatan apapun di antara kita. Maka aku pun tak mungkin melangkah.
  Duhai kabut, saudara perempuanku, kabut suci, kudendangkan irama dulu untuk anak-anakku. Dengan kebahagiaan yang menyemburat dari wajahnya, mereka menyimak iramaku. Namun barangkali besok mereka akan mengabaikan iramaku. Tanpa pernah kutahu untuk siapakah angin menerbangkan irama itu. Irama itu akan tetap menziarahi hatiku sekalipun memang bukan akulah satu-satunya yang memilikinya, Kemudian sekilas bertapa di bibirku.
  Duhai kabut, saudara perempuanku, aku merasa tenang dan damai kendati segala sesuatu telah berlalu. Aku telah cukup bahagia telah menyanyikan irama bagi yang telah lahir. Walaupun irama itu memang bukan milikku, tetapi ia begitu kuat menghujam ke pangkal hatiku yang paling dalam.
  Duhai kabut, saudara perempuanku, engkaulah saudaraku. Aku kini datang untuk menyatu denganmu. Aku tak lagi seorang diri. Lantaran telah kujebol dinding-dinding. Telah kulumat belenggu-belenggu. Dengan menghapirimu, kabut, aku bangkit dan bersama-sama kita akan mengarungi lautan lepas sampai hari kedua kehidupan berkumandang. Manakala sang fajar menelungkupkan dirimu, maka tetes-tetes embun akan bertaburan di taman. Dan aku akan menjelma bayi yang mengkeret dalam pelukan sang ibu. 

Friday, July 23, 2010

Hikayat Al-Mustafa (Bagian Kelimabelas - II)

  
  Sambil bangkit dari meja jamuan, ia melangkah di bayang-bayang pohon ketika matahari tampak kian pucat menuju ke taman. Mereka yang sesungguhnya tengah menyimpan kenestapaan dengan lidah kelu yang mengkerut di langit-langit mulutnya bergegas mengiringi langkahnya. Kecuali itu, stelah merapikan semua peralatan, hanya Karima lah yang buru-buru menghadapinya. "Aku mohon ijin untuk menyuguhkan makanan buat besok dan sekaligus bekal petualanganmu."
  Dengan pancaran mata yang sanggup membelah dunia angan-angan, Al-Mustafa mencermati wajah Karima. "Saudaraku dan kekasihku," ujarnya kemudian. "Sejak permulaan waktu semua bekal telah terduguhkan. Tak ada bedanya dengan kemarin dan kini, semua makanan untuk besok hari telah tersiapkan. Kalaulah kepergianku menyisakan nilai kebenaran yang belum termaklumkan, maka kebenaran hakiki akan mengikutiku dan kemudian merengkuhku. Walaupun untuk itu jasadku akan berantakan menyebar pada semua bentuk kesunyian abadi. Aku muncul di antara kalian, sekali lagi, hanya untuk mengumandangkan irama yang kembali bersemi dari hati kesunyian yang tak memiliki batas-batas. Maka undanglah aku jikalau masih tersisa keindahan yang belum ku utarakan kepada kalian hanya dengan sekali menyebut nama Al-Mustafa. Aku akan segera memberikan kalian sesuatu pertanda agar kalian menyadari betapa aku telah hadir kembali untuk menggunjingkan banyak hal yang belum terjelaskan. Ketahuilah bahwa Tuhan tidak akan menyakiti diri-Nya melalui penyembunyian-penyembunyian diri-Nya dari manusia. Semua titah-Nya akan bersemayam di balik rongga dada manusia.
  Di balik kematianlah aku akan senantiasa hidup sambil melagukan irama sahdu ke telinga kalian. Bahkan sekalipun gelombang besar menghantamku sampai terhempas ke dasar samudera luas. Aku akan hadir saat jamuan kalian kendati tubuhku telah tercerai-berai. Laksana ruh misterius yang tak berwujud, aku akan memasuki ladan bersama kalian, mengunjungi kalian di dekat perapian sebagai tamu yang tak pernah kalian ketahui. Ingatlah, kematian tidak menghadiahkan apapun kecuali menyingkap topeng yang menyelubungi wajah kalian. Penebang pohon akan saja menjadi penebang pohon, pengolah ladang akan pula menjadi pengolah ladang, serta siapapun yang menyanyikan dendangan kepada angin pun akan senantiasa mengumandangkannya kepada gelaran angkasa."
  Mereka semua masih terbungkam dan dalam kepiluan yang meronai hati mereka Al-Mustafa kembali berkata, "Aku harus pergi." Tak ada yang mencoba merintangi laju kaki Al-Mustafa serta untuk mengikuti langkahnya. Ia pun meninggalkan taman ibunya dengan sepasang kaki yang melaju cepat. Para muridnya membisu semua, tanpa seutas ucapan pun yang melompat dari bibir mereka. Dan seperti sehelai daun yang dibubungkan badai, dalam sekilas Al-Mustafa telah meninggalkan mereka. Mereka hanya menangkap sekuntum cahaya kusam yang menjulang tinggi membelah cakrawala.
  Kesembilan murid itu segera melangkah hendak pergi. Tinggalah Karima yang mematung seorang diri di bawah gulita malam seraya menyimak titik temu cahaya dan senjakala. Dengan meminjam suara sang Guru, ia berupaya menghibur kesunyian dan kedukaannya, "Aku memang harus pergi. Jika kepergianku menyisakan kebenaran yang belum terpahami, sungguh kebenaran hakiki akan segera mengikutiku dan merengkuhku. Sekali lagi, aku memang akan kembali."

(Kahlil Gibran)

Thursday, July 22, 2010

Hikayat Al-Mustafa (Bagian Kelimabelas - I)

  Hanya dengan berteman nostalgia indah dan resah, sudah tujuh hari tujuh malam ia berkubang di taman itu. Sementara orang-orang yang telah menyimak semua kata-katanya dengan penuh kasih dan sabar kini telah meninggalkannya untuk mengejar kehidupan masing-masing, sehingga tak ada seorangpun yang mengunjunginya di taman itu.
  Hanyalah Karima yang menyembul menjenguknya dengan sepotong wajah yang menempiaskan kesunyian seperti selubung yang menabiri seraya menyuguhkan piala dan piring, minuman dan makanan untuk membantu menghilangkan kesunyian dan rasa lapar. Dia meletakkan semua yang dibawanya di hadapan Al-Mustafa, lalu pulang.
  Al-Mustafa berjalan kembali mendekati rimbun pohon putih yang terletak di antara pintu gerbang taman, lalu duduk tercenung seraya menatapi jalanan. Tak lama kemudian matanya seolah-olah menangkap semburat awan bergumpal debu-debu yang berarak di jalanan menuju ke arahnya. Dari balik awan itulah muncul kesembilan muridnya, dan salah seorang yang berdiri memimpin di depan adalah Karima. Al-Mustafa bangun menemui mereka, kemudian melangkah mendekati pintu gerbang. Tak ada yang berubah seakan-akan semuanya baru beberapa saat meninggalkan taman itu.
  Segera semuanya masuk dan melahap makanan di meja jamuan sederhana itu bersam-sama. Karima kemudian menyuguhkan roti dan ikan serta menumpahkan anggur penghabisan ke piala-piala seraya berkata kepada Al-Mustafa, "Aku mengharapkan ijinmu untuk berangkat ke kota guna mencari anggur baru supaya piala-piala ini dapat ku isi kembali. Anggur kita sudah habis."
  Seraya memandang Karima, Al-Mustafa membayangkan sebuah perjalanan yang melelahkan serta negeri yang jauh. "Tidak, anggur kita masih cukup untuk persediaan beberapa hari." ujarnya kemudian.
  Lantas mereka hanya makan dan minum sepuas-puasnya. Lalu setelah semuanya menyelesaikan santapannya, Al-Mustafa berkata dengan suara yang sangat dalam laksana samudera luas dan sangat keras serupa gelegar gelombang di saat purnama, "Sahabat-sahabat seperjalananku, kini saat berpisah sudah datang. Kita telah begitu lama mengarungi samudera maha luas yang penuh ancaman, menelusuri pegunungan tinggi yang teramat terjal serta bergumul dengan gemuruh badai. Kita semua pernah tenggelam dalam kegelapan serta pernah pula berkubang dalam kemewahan upacara perkawinan. Kita pun pernah bertelanjang bulat, walaupun kita juga telah pernah mengenakan jubah-jubah kebesaran laksana raja. Kini saat berpisah telah muncul, kendati kita memang benar-benar telah bersama menempuh perjalanan yang maha jauh. Kini aku harus berangkat seorang diri.
  Namun ingat bahwa kita tetaplah sahabat dalam perjalanan untuk menggapau puncak Gunung Suci, sekalipun samudera luas dan negeri jauh memisahkan kita. Tapi sebelum kita terpisah dan menelusuri jalan masing-masing, aku akan memberikan buah-buah panenku dan serpihan-serpihan hatiku untuk kalian semua. Berangkatlah ke jalan kehidupan kalian dengan hati riang, tapi jangan menyanyikan tembang-tembang panjang karena hanya tembang-tembang pendeklah yang senantiasa berdenyut di hati manusia. Tuturkanlah kebenaran hakiki dengan bahasa yang sederhana, namun jangan kalian sisipkan kepalsuan dalam ucapan kalian. Katakanlah kepada perawan yang rambutnya tergerai sangat kemilau di semai cahaya matahari n=bahwa dialah puteri sang fajar. dan jangan kalian bisikkan pada orang buta bahwa dia lebur dengan malam yang gulita.
  Simaklah irama-irama seruling yang merdu yang menyenandungkan irama musim semi. Tututplah daun telinga kalian serapat-rapatnya sampai tuli dan sejauh angan-angan kalian bila kalian berjumpa dengan suara para pencaci dan pendosa. sepanjang perjalanan kalian semua akan berpapasan dengan orang-orang yang berkaki binatang. Berikanlah sayap-sayap kalian kepada mereka. Berikanlah mahkota daun salam kepada orang-orang yang bertanduk. Semaikanlah kelopak bunga di jari-jari orang yang bercakar. Bahkan bila kalian bersua dan berbincang dengan orang yang lidahnya bercabang, berikanlah madu agar mereka terus berkata-kata.
  Kalian semua memang akan berhadapan dengan orang-orang semacam itu serta beragam jenis lainnya. Kalian akan berjumpa dengan orang pincang yang menjual tongkat penyanggah tubuhnya, orang buta yang menjajakan cermin serta orang kaya yang mengemis dengan menengadahkan telapak tangannya di gerbang kuil. Maka bagikanlah ketangkasan kalian kepada orang pincang, semaikanlah penglihatan kalian kepada orang yang buta dan berikanlah diri kalian sendiri kepada orang kaya yang mengemis itu. Karena sebenarnya merekalah manusia yang paling fakir dan kekurangan, lantaran memang tak ada seorang pun sudi menjulurkan tangan untuk memberikan sedekah karena mereka tidaklah benar-benar fakir, tetapi memiliki kekayaan yang berlimpah. Aku mencintai kalian yang akan menapaki jalan-jalan yang sungguh banyak dan akan bermuara di gurun pasir, dimana segerombolan singa dan kelinci, serigala dan domba berpetualang.
  Ingatlah padaku atas apa-apa yang telah kunyatakan. Aku tidak pernah meminta kalian untuk memberi kecuali menerima. Aku tidak menyuruh kalian untuk menampik kecuali menjalankan. Aku pun tidak sekali-kali mengajarkan kalian untuk takluk kecuali mengurai senyuman di bibir kalian. Aku tidak menjabarkan kepada kalian tentang kesunyian kecuali nyanyian yang tak menjerit. Telah kuajarkan tentang kemuliaan diri kalian sendiri yang menyelimuti semua umat manusia."
  

Monday, June 14, 2010

Hikayat Al-Mustafa (Bagian Keempatbelas)

  Dengan amat perlahan, Al-Mustafa beringsut ke makam ibunya di kala malam mulai beranjak tua. Ia bersimpuh di bawah pohon cedar yang merindang di sisinya. Tiba-tiba semburat cahaya berpijar di cakrawala sehingga taman itu laksana bermandikan sinar yang menyerupai permata kemilau di atas perut bumi. Dalam kesendirian jiwanya, Al-Mustafa merintih dan mengisak. "Beban hebat adalah jiwaku yang bergantung bersama bebuahan," gumamnya. "Siapakah yang akan tiba untuk memetiknya hingga ia terpuaskan oleh saripatinya? Apakah tak ada lagi manusia yang berpuas, luhur budinya serta cemerlang hatinya yang akan berkunjung untuk berbuka puasa di kala pemasrahan panen pertamaku kepada mentari yang akan sanggup mengikis beban hebatku ini?
  Jiwaku bergelimangkan anggur masa lalu. Apakah tak ada lagi manusia yang akan mendatangiku dan mereguknya sampai habis? Cermatilah lelaki yang menengadahkan tangannya kepada orang-orang yang lalu lalang sedangkan telapaknya sarat dengan intan berlian di sana, yang mematung di perempatan jalanan. Suaranya berkumandang menyebut orang-orang itu dengan nada penuh pengharapan : 'Kasihanilah aku, Tuan, ambillah semua ini. Tolong renggutlah ini semua dan berilah daku penghiburan.'
  Tak ada satu pun yang rela menjamah sesuatu pun dari tapak tangannya. Mereka hanya memandangnya sekilas. Sungguh akan lebih baik bila ia menjadi pengemis yang menengadahkan tangannya untuk menerima suatu pemberian dari orang-orang yang berlalu lalang, kendati ia akan gemetaran lantaran tidak mendapatkan apapun untuk dibawa pulang ke rumah hatinya, dibandingkan menyodorkan tangannya yang sarat dengan beragam hadiah tetapi  tak akan ada yang sudi menerimanya. Lihatlah seorang pangeran yang penuh belas kasihan yang sangat baik hati yang memancang tenda suteranya di antara pegunungan dan geraian pasir membentang. Diperintahnya para pelayan untuk menciptakan api sebagai isyarat bagi orang-orang asing dan para pengelana. Dititahkannya kepada para budak untuk mencermati jalan-jalan agar menyambut tamu-tamu yang akan mampir. Namun lantaran jalan-jalan di gurun pasir itu sangatlah sepi, maka mereka tak menemukan siapa pun.
  Sebaiknya pangeran itu menjadi rakyat jelata yang mencari makanan dan tempat perlindungan.Akan lebih berharga bila dia menjadi seorang pengelana yang tak berbekal apapun kecuali tongkat dan periuk tanah. Dia akan bersua dengan kawan-kawan sepertinya serta penyair-penyair yang akan berbagi warta tentang kemiskinan, pengalaman dan cita-cita mereka di kala malam telah merangkak ke jantung angkasa.
  Sementara di sebelah sana, tataplah kuat-kuat, ada seorang putri seorang raja yang perkasa yang senatiasa mengenakan gaun sutera, rangakaian mutiara dan batu-batu permata serta mengusapi rambutnya dengan minyak kesturi dan memandikan jari-jarinya dengan cairan kuning kencana di kala akan tidur. Dia menuruni anak-anak tangga istana yang menjulang ke angkasa, melangkah damai menuju sebuah taman sehingga embun malam berhasil menjilati alas kakinya yang kemilau keemasan.
  Puteri raja yang agung itu menelisiki cinta di taman dalam keheningan malam. Di dalam kerajaannya yang sangat luas, tak ada seorangpun yang bisa dijadikannya seorang kekasih. Maka akan lebih menyenangkan baginya bila dia menjadi anak seorang pengolah ladang, yang melepaskan ternak-ternaknya ke padang rumput dan menggiring pulang di kala senja ke rumah ayahnya dengan debu-debu jalanan yang menyelimuti tapak-tapak kakinya serta hanyalah bauan anggur yang mengolesi bajunya. Tetapi ketika matahari bersembunyi di balik gemawan mega cakrawala serta malaikat-malaikat malam melanglangi permukaan dunia, dia akan bersijingkat diam-diam nan lamat-lamat menuruni lembah di bibir sungai di mana sang kekasih tengah menantinya.
  Sungguh akan lebih jauh membahagiakan baginya menjadi seorang biarawati yang membakar hatinya sebagaimana dibakarnya dupa-dupa agar dapat melayang ke angkasa sehingga jiwanya menjadi kecapaian. Atau pula sebagaimana lilin yang semburat cahayanya menjulang ke arah cahaya yang lebih kudus, bersetubuh dengan mereka yang memuja dan mencintai serta dicintainya. Akan menjadikannya lebih bersahaja untuk menjadi seorang wanita tua yang berkubang dalam kehangatan kilat cahaya mataharisambil mencoba menghadirkan kembali kenangan-kenangan tentang seorang lelaki yang telah memberinya dongeng masa belia."
  Malam kian tua. Al-Mustafa kian berkubang dalam gulita malam yang pekat. Wujud jiwanya menghampiri gumpalan awan. Dia kembali meratap.
  "Beban berat adalah jiwaku yang matang mengiringi ranumnya bebuahan. Masih adakah kini manusia yang sudi memetiknya untuk memakannya sampai ia terpuaskan oleh saripatinya?
  Jiwaku mengalir bersama tumpahnya anggur. Masih adakah kini manusia yang rela untuk menuangkannya dan mereguknya agar menjadi pembunuh tikaman panas gurun pasir?
  Tentu lebih aku bila aku menjelma sebatang pohon yang kerontang yang tak mengerami kembang dan buah, lantaran gelimang nestapa jauh lebih menggetirkan daripada hidup yang mandul. Serta lebig mengiris daripada kesengsaraan orang kaya yang tak ada seorang manusia pun yang rela menerima kekayaannya dibandingkan kedukaan para pengemis yang tak didermai oleh siapa pun.
  Lebih mulia aku menjadi sumur kering kerontang yang dilempari bebatuan oleh banyak orang dibandingkan sebuah sumber air kehidupan yang cuma dilewati manusia tanpa pernah meresapi kenestapaannya, karena semua kenyataan itu akan jauh lebih gampang untuk dilahirkan.
  Lebih menyenangkan bila aku menjelma ilalang yang terhempas oleh jejakan kaki-kaki dibandingkan menjadi harpa berdawai perak yang bersemayam di dalam sebuah rumah yang dimiliki oleh orang yang tak memiliki jari-jari dengan anak-anaknya yang tuli.
(Kahlil Gibran)

Saturday, June 5, 2010

Hikayat Al-Mustafa (Bagian Ketigabelas)

  Seorang pembantu kuil menghadap Al-Mustafa sambil memohon, "Guru, ajarkanlah padaku agar semua ucapanku menyerupai kata-katamu, menjadi nyanyian agung yang sewangi parfum dalam indera kami semua."
  Dengan kata-katanya yang penuh kasih Al-Mustafa menjawab, "Kalian harus melampaui kata-kata. Kendati jarak perjalanan kalian menyimpan tembang dan wangi parfum : tembang bagi para pecinta dan kekasihnya serta wangi parfum bagi siapapun yang menghuni taman-taman. Dankalian harus melampaui kata-kata dengan mendaki puncaknya dimana debu-debu bintang gugur bertebaran dan kalian menengadahkan telapak tangan kalian sampai penuh terisi, sebelum akhirnya kalian merebahkan jasad-jasad kalian dan lelap tertidur sebagaimana anak burung yang bulunya putih cemerlang di sebuah sarang putih. Kalian memimpikan masa depan seperti sekuncup bunga yang mengharapkan musim semi.
  Segala kata-kata harus kalian gali kembali sampai jauh lebih dalam. Hingga kalian menemukan kembali sumber air sungai yang hilang, di mana kalian bisa menjadi gua yang tersimpan rapat yang mengumandangkan irama yang lamat-lamat dari balik liangnya yang tak bisa kalian tangkap lagi sekarang. Kalian pun mesti menggali lebih dalam lagi daripada kata-kata, lebih dalam daripada semua suara mengaung, hingga membelah rongga dada bumi. Di situlah kalian akan mampu melebur bersama Dia yang menapaki hamparan galaksi Bimasakti."
  Seorang muridnya yang lain sekilas bertanya, "Guru, jelaskan pada kami apa yang dimaksud dengan wujud? Bagaimanakah wujud itu?"
  Sambil bangkit perlahan setelah mencermati roman muridnya sekilas, Al-Mustafa melangkah agak jauh dari mereka, sebelum kemudian kembali lagi sambil bersuara, "Ayah dan ibuku bersemayam di taman ini, dikuburkan oleh jari jemari kehidupan. Di taman ini jugalah tertanam benih-benih yang ditebarkan oleh kepak-kepak sayap angin. Seribu kali ayah dan ibuku dikuburkuan di sini maka seribu kali jugalah kepak-kepak sayap angin menaburkan benih-benih di sini. Lantas seribu tahun yang akan datang, kalian, aku dan kembang-kembang itu akan melebur kembali di taman ini sebagaimana yang kini kita jalani. Kita akan selalu hidup untuk merindukan kehidupan dan kita akan senantiasa hidup untuk menghasratkan cakrawala serta kita akan serta merta menggeliat untuk menjamah matahari.
  Kini menjadi wujud adalah menjadi bijak tanpa menjadi asing di antara orang-orang bodoh. Kita menjadi gagah perkasa tanpa menghancurkan orang-orang lemah. Walaupun kita bukanlah ayah, namun kita bebas bermain bersama anak-anak sebagai teman sepermainan yang juga tekun mempelajari permainan-permainan mereka. Menjadi wujud adalah menjadi sederhana, jujur kepada orang tua dan bersanding mesra bersama mereka di bawah rindang pepohonan tua yang teduh sekalipun engkau sendiri masih saja mengagumi kemolekan musim semi. Menjadi wujud seperti halnya mencari seorang pujangga yang barangkali bersemayam di balik tujuh sungai, di mana kedamaian akan merekah bersama keberadaannya. Jangan menghasratkan sesuatu atau was-was ataupun memuntahkan satu persoalan pun dari pematang bibirmu.
  Menjadi wujud adalah menyadari betapa orang-orang suci dan berdosa adalah saudara kembar yang sama-sama berayahkan Raja Agung. Lantaran yang seorang dilahirkan beberapa kilas sebelum yang seorang lainnya dilahirkan, maka kita kemudian menjulukinya Putera Mahkota. Menjadi wujud dituntut untuk menapaki jejak-jejak keindahan sekalipun sedang menggiringmu ke bibir jurang. Ikutilah Dia, kendati harus melalui bibir jurang, sekalipun dia memiliki sayap dan engkau tidak memilikinya, karena semua hal akan serta merta kosong nan hampa manakala Keindahan tidak lagi bertahta.
  Menjadi wujud mesti tabah dijarah, didusta, dinista, disesatkan, diperdayai, sebelum kemudian dilecehkan. Kalian akan bisa menatap ke bawah dari balik ketinggian senyumanmu yang kudus hanya melalui semua itu. Kalian akan menyadari betapa di suatu kelak musim semi akan menghampiri tamanmu untuk berdansa bersama daun-daun, juga musim gugur yang akan mampir untuk mematangkan anggur-anggur kalian. Jika salah satu jendela kalian terkuak tengadah ke arah timur, maka kalian akan mengerti betapa kalian tidak pernah sendiri dalam kesenyapan. Kalian akan memahami betapa semua yang dituduh sebagai penjarah, pendusta dan bajingan senantiasa sebagai saudara di waktu kalian membutuhkan uluran tangannya sekalipun mata penduduk Kota Maya ini akan menyebutmu sebagai bagian dari mereka.
  Sementara bagi kalian yang tangannya karib dengan segala benda yang dihasratkan manusia demi kecemerlangan siang dan kebahagiaan malam. Menjadi wujud adalah menjadi perenda yang mampu melihat melalui jari-jarinya, menjadi pembangun yang menyadari makna cahaya dan ruang, pengolah ladang yang merasakan bagaimana kalian menghindarkan limpahan kekayaan dari setiap bibit yang ditebarkan, nelayan dan pemburu yang menyimpan iba untuk ikan dan buruannya, tetapi masih jauh lebih iba pada manusia yang ditikam kelaparan dan kesengsaraan.
  Kukabarkan pada kalian apa yang terpenting ini : aku akan mewartakan suatu suri teladan untuk menggapai setiap ambisi manusia. Dengan cara itulah kalian bisa berharap untuk menggapai ambisi kalian. Para sahabat dan pelautku yang kusayangi, kalian harus menjadi pemberani dan tak mudah putus asa. Bukalah dirimu dan jangan menyumpalnya samapi tiba saatnya nanti nafas terakhir berkibar. Jadikanlah apa yang lebih mulia sebagai diri kalian."
  Begitu diketahuinya di wajah kesembilan muridnya berkilau rona kegelisahan, sementara hati mereka tak lagi terpatri padanya, lantaran kata-katanya tak kuasa dipahami oleh mereka, maka Al-Mustafa pun menghentikan laju suaranya.
  Ditatapnya tiga pelaut yang sangat menghasratkan samudera luas serta orang-orang yang telah melayani upacara kuil yang merindukan keteduhan tempat kudusnya. Orang-orang yang telah menjadi teman sepermainannya sejak dulu kala tak lagi sabar untuk meleburkan diri dalam keriuhan pasar. Semuanya tuli dan tidak kuasa mencairkan apa yang telah dikumandangkannya. Kata-katapun memantul kembali kepadanya layaknya beburungan yang kehilangan sarang-sarangnya serta telah capai untuk menemukan tempat berlindung. Al-Mustafa pergi menghindari semua yang berkerumun di taman itu. Ia bisu menunduk tanpa memalingkan mata kepada mereka.
  Mereka segera bertanya-tanya dan berupaya menemukan alasan yang akan memungkinkan mereka untuk melangkah pulang. Tapi akhirnya mereka hanya membalikkan badan dan pulang begitu saja ke rumah masing-masing. Kini hanyalah Al-Mustafa, lelaki pilihan dan terkasih, yang berdiam seorang diri.
(Kahlil Gibran)

Thursday, June 3, 2010

Hikayat Al-Mustafa (Bagian Keduabelas)

  Ketika sang surya mulai merangkak tinggi di suatu pagi, salah seorang murid yang dikala kanak acapkali bermain dengannya mendekatinya sambil berkata, "Pakaianku telah usang dan robek, Guru, dan aku tak juga memiliki pakaian yang lainnya. Aku ingin engkau mengijinkanku pergi ke pasar untuk memperoleh pakaian yang mungkin bisa kudapatkan."
  Sambil menatapi lelaki muda itu, Al-Mustafa menimpali, "Kemarikan pakaianmu untukku." Lelaki muda itu pun melakukan yang diperintahkan sang Guru hingga ia berdiri bugil.
  Dengan nada yang berderapan seperti kuda, Al-Mustafa berkata lagi, "Hanya orang yang telanjang yang bisa mencapai matahari. Hanya yang sentosa yang sanggup menyisiri angin. Hanya yang pernah tersesat ribuan kalilah yang berhak mendapatkan sambutan hangat dalam kepulangannya. Ketahuilah, para malaikat sudah sangat jemu dan kesal atas tingkah laku manusia. Sosok malaikat berbisik kepadaku : 'Telah kami ciptakan neraka buat mereka yang bermewahan. Adakah mereka yang sanggup menghancurkan permukaan yang berkemilau kemudian melelehkannya sampai tampak saripatinya kecuali api?"
  'Tetapi ketika engkau ciptakan neraka, engkau ciptakan pula setan dan iblis yang menguasai neraka,' kataku menyahut.
  'Tidak, neraka hanya dikuasai oleh mereka yang tidak takluk pada gelegak api,' sergah malaikat itu.
  Dialah malaikat yang bijak! Mengetahui perbedaan segala cara yang ditempuh manusia yang sejati dengan manusia yang setengah-setengah. Dialah yang membisikkan kebenaran yang akan tampil untuk menyelamatkan nabi-nabi dikala mereka dirayu kenistaan. Itulah sebabnya mereka juga tersenyum sewaktu nabi-nabi tersenyum dan turut mengalirkan airmata ketika nabi-nabi ditelan rengsa.
  Para sahabta dan pelautku, hanyalah yang telanjang yang bisa hidup dibawah terik matahari. hanya yang tanpa layar serta dayung yang sanggup membelah keluasan samudera. Hanya yang jelaga besama malam yang akan bangkit bersama geliat fajar pagi. Serta hanya yang mendengkur lelap bersama akar-akar yang disepuh salju yang bisa mencapai semi. Lantaran kalian menyerupai akar-akar yang sederhanalah kalian menyimpan kebijaksanaan bumi. Sekalipun kalian hanya membisu, tetapi di balik ranting-ranting yang belum terlahirkan kalian sanggup mendengungkan koor angin yang datang dari empat penjuru. Kendati rapuh dan tak berbentuk, kalian laksana tunas sebuah pohon besar yang sangat rindang, janin bagi pohon-pohon yang bersihadap dengan langit.
  Sekali lagi dengarkanlah, kalianlah akar yang menancapi gelapnya rumput-rumput dan langit yang berarak. Kadangkala kujumpai kalian menari bersama gulungan cahaya, walaupun adakalanya kalaian tampak tersipu-sipu malu. Akar-akar apa pun memang selalu malu-malu. Mereka menghunjamkan hatinya sedemikian dalamnya sampai tak lagi mengerti apa yang mesti dijalankan oleh hati mereka sendiri.
  Laksana perawan yang gundah lantaran akan segera menjadi bunda dari bukit-bukit dan lembah-lembah, bulan Mei pun segera menjelang.
(Kahlil Gibran)

Monday, May 31, 2010

Hikayat Al-Mustafa (Bagian Kesebelas)

  
  Sewaktu genta kuil berkumandang dan gemuruhnya memasuki telinga di suatu awal pekan, seorang murid Al-Mustafa berkata, "Guru, telah banyak kami simak perbincangan tentang Tuhan. Bagaimana pandanganmu tentang Tuhan serta siapakah Dia sesungguhnya?"
  Dengan menyerupai sebatang pohon muda yang tak mengenal gentar terhadap tamparan angin ataupun terjangan badai, sang Guru berdiri di hadapan murid-muridnya. Kemudian katanya, "Sahabat-sahabatku tersayang, kini pikirkanlah sebuah hati yang menelungkupi semua hati kalian, seutas cinta yang menyelimuti seluruh cinta kalian, sehelai jiwa yang memeluk semua jiwa kalian, secarik suara yang meliliti semua kumandang kalian serta sekerat kesunyian yang terasa jauh lebih menghunjam dibandingkan segala kesunyian yang tak terbatas.
  Sekarang telusurilah di dalam dirimu supaya engkau kuasa untuk merasakan bagaimana keindahan yang jauh lebih memukau dibandingkan semua keindahan, bagaimana nyanyian yang jauh lebih sahdu daripada semua nyanyian samudera dan belantara, keliaan yang berkuasa di singgasana yang menjadikan galaksi Orion sebagai penyangganya, mencengkeram sebuah tongkat kekuasaan sehingga galaksi Pleiades menjadi tidak lebih kecuali sebuah kerlipan kecil dari tetes-tetes embun.
  Bila selama ini engkau cuma sibuk oleh pencarian makanan dan tempat berlindung, pakaian dan ongkat penunjuk jalan, maka tibalah kini waktumu untuk mencari Yang Maha Esa, yang tidak engkau jadikan sasaran panahmu dan tidak pula engkau jadikan gua batu untuk perlindunganmu. Dan kalau masih saja kata-kataku ini belum engkau ketahui maksudnya, maka carilah sekalipun barangkali engkau akan kecewa lantaran pertanyaannya hanya akan menggiringmu memasuki cinta dan kebijakan Yang Maha Tinggi yang dikenal sebagai Tuhan oleh manusia."
  Semuanya diam tercenung. Mereka gundah dan bimbang. Al-Mustafa yang merasa tersentuh sangat iba pada mereka. Dengan penuh kasih sayang ditatapnya mereka, "Sebaiknya jangan lagi kita menggunjingkan Tuhan. Sudah cukup bagi kita untuk berbicara tentang dewa-dewa, tetangga-tetangga, sanak-kadang serta seluruh yang hidup di sekeliling rumah dan ladang kalian. Jika melamun, kalian akan terlontar tinggi sampai menembus awan cakrawala sehingga kalian menganggapnya terlalu membunmbung tinggi. Kalian pun hanya akan menyeberangi samudera nan luas sehingga kalian akan mengira telah menempuh perjalanan yang sangat jauh. Namun ketahuilah bahwa kalian akan mencapai ketinggian yang lebih tinggi manakala kalian menebar benih ke muka tanah, di waktu kalian mewartakan cantik cemerlangnya fajar pagi kepada tetangga kalian, sebenarnya kalian telah melampaui samudra yang teramat sangat luas.
  Kalian memang tak pernah menyimak kidung yang hakiki sekalipun kalian sudah terlalu sangat sering melantunkan tembang-tembang pujian kepada Yang Maha Kuasa. Akan lebih baik bagi kalian untuk menikmati kicau beburungan, gemeresek dedaunan yang bertanggalan dari ranting-rantingnya sewaktu angin menampar dan merontokkannya. Tapi jangan lupa kawanku, semua itu hanya akan bernyanyi sahdu sewaktu terpisahkan dari ranting-rantingnya. Karena itu, sekali lagi kuingatkan , janganlah sekali-kali kalian bergunjing tentang Tuhan yang merupakan keseluruhanmu secara serampangan. Berbincanglah dengan sesama kalian dan saling mengertilah, antara tetangga dengan tetangga, antara dewa dengan dewa.
  Masih adakah gunanya untuk memberi makan pada anak burung sementara induknya begitu saja terbang tinggi membelah cakrawala? Kembang apakah yang akan mekar bila bukan dibuahi kumbang yang hinggap di kembang lainnya? Kalian akan bersujud khusuk kepada Tuhan sewaktu kalian tertindih kenestapaan hidup. Kalian akan lebih berharga dan sanggup menapaki jalan kalian sendiri ketika kalian telah menjumpai jalanan yang lebih luas.
  Para pelaut dan kawanku, akan jauh lebih bijak bila kita tidak berdiskusi tentang Tuhan yang tidak pernah kita mengerti. Dan sungguh akan jauh lebih baik bila kita berbincang tentang hubungan manusia yang jauh lebih kita pahami. Hanya saja, aku ingin kalian semua menyadari betapa kita semua adalah detak nafas dan aroma wewangian Tuhan. Tuhan pun larut dalam daun-daun, kembang-kembang dan buah-buahan."
(Kahlil Gibran)

Saturday, May 29, 2010

Hikayat Al-Mustafa (Bagian Kesepuluh)

  Phardrous, orang Yunani, suatu hari memasuki taman dan kakinya terbentur batu. Ia menjadi murka. Dibalikkan badannya dan dipungutnya batu itu lalu berkata, "Ah, benda mati ini yang merintangi laju kakiku!" Ditolakkannya batu itu jauh-jauh sekuat tenaga.
  Al-Mustafa yang menyaksikan peristiwa itu bergumam, "Mengapa engkau menyebutnya benda mati? Sudah berapa lamakah engkau di taman ini? Ketahuilah bahwa tidak ada satu benda matipun di taman ini. Di antara keagungan siang dan malam, semuanya berkilau. Engkau tak ada bedanya dengan batu itu. Hanyalah detak jantung yang membedakan kalian. Jantungmu lebih cepat berpacu sekalipun tidak tenang. Benarkah yang kukatakan kawanku?
  Barangkali memang nadanya tidak sepadan. Namun akan kututurkan padamu bahwa bila engkau mengumandangkan jiwamu dan menguraikan ketinggian cakrawala, maka engkau cuma akan menangkap satu irama, dan di balik irama itulah bebatuan dan bebintangan saling bertembang penuh girang dalam keselarasan yang sangat sempurna.
  Jika pengertianmu tidak sanggup menjangkau pembicaraanku, maka tunggulah sampai fajar esok. Karena engkau telah menyumpahi batu itu akibat kebuataanmu sendiri sehingga kakimu menabraknya, maka akankah engkau pun melaknati bintang jika kepalamu tersandung padanya di langit? Saat engkau memunguti bebatuan dan bebutiran bintang layaknya kanak-kanak yang memetiki kembang-kembang di lelembahan, engkau akan segera menyadari betapa benda-benda ini juga hidup dan wanginya sangat mempesona.
(Kahlil Gibran)

Thursday, May 27, 2010

Hikayat Al-Mustafa (Bagian Kesembilan)

  
  Al-Mustafa dengan diiringi sembilan muridnya berjalan memasuki bangunan yang teronggok di taman itu dan mengelilingi nyala perapian. Badai dahsyat menerjang taman itu di waktu senja begini. Semuanya bungkam dalam kebisuan.
  Salah seorang muridnya tiba-tiba bersuara, "Guru, aku hanyalah sebatangkara. Sementara derap langkah waktu begitu perkasa menggetarkan jantungku." 
  Melalui suaranya yang bergemelisir layaknya angin, Al-Mustafa bangkit dan berdiri di tengah-tengah muridnya, "Apa yang engkau maksud dengan sebatangkara?" tegasnya. "Engkau datang seorang diri dan melintasi kabut seorang diri pula. Maka minumlah isi pialamu sendiri dalam bisunya kesenyapan lantaran hari-hari di musim gugur telah memunculkan bibir-bibir lain yang memiliki piala-piala lain dan menuanginya dengan anggur yang semanis madu. Begitu jugalah yang mereka isikan ke dalam pialamu. Teguklah sendiri isi pialamu sekalipun terasa menelan darah dan airmata kesengsaraan. Bersyukurlah pada kehidupan yang telah menganugerahi rasa haus. Hatimu akan seperti tepian pantai dari sebuah samudera yang tak memiliki gelombang, tak menyimpan gemuruh dan tak mengerami pasang-surut bila engkau tak memiliki rasa haus.
  Reguklah isi pialamu sendiri sambil memekik gembira. Junjunglah pialamu di atas kepalamu lalu reguklah kuat-kuat demi mereka yang meminumnya dalam kesendirian. Aku pernah suatu kali mencari gerombolan manusia yang kemudian duduk rapi mengelilingi meja jamuan sebuah pesta kemudian minum dengan sepuas-puasnya. Namun mereka tidak mengangkat anggurnya di atas kepalaku, tidak pula meresapkannya ke dalam dadaku. Mereka hanya membasahi kakiku. Kebijakanku masih kerontang. Hatiku terkunci dan terpatri. Cuma sepasang kakikulah yang bergumul dengan mereka di antara selubung kabut yang buram.
  Aku tidak mau lagi mencari kumpulan manusia atau pula mereguk anggur bersama mereka dalam meja jamuan pesta mereka. Apa yang engkau rasakan jika kututurkan padamu semua itu kendati waktu begitu garang menghentaki jantungmu? Akan sangat baik bagimu bila engkau mereguk piala rengsamu seorang diri dan piala bahagiamu seorang diri pula."
(Kahlil Gibran)

Hikayat Al-Mustafa (Bagian Kedelapan)

  Ketika fajar menyingsing, di kala langit masih tampak kepucatan, di pagi itu mereka berjalan-jalan mengitari taman sambil terkagum-kagum menyaksikan tempias ufuk timur yang membaluti matahari terbit. Kemudian Al-Mustafa menjulurkan jari tangannya sambil berkata, "Bayangan matahari itu sendiri pada tetes embun tidaklah lebih rendah dibandingkan matahari itu sendiri. Cerminan kehidupan yang bersarang dalam jiwa kalian tidaklah kurang nilainya daripada kehidupan itu sendiri. Karena embun menyatu dengan cahaya, maka dia menempiaskan cahayanya. Karena kalian dan kehidupan menyatu, maka kalian merupakan bayangan kehidupan itu sendiri.
  Maka katakanlah bila gulita menangkupi kalian : 'Gulita ini adalah fajar yang belum sempurna terlahirkan.Sekalipun rengsa pekatnya malam menghujamiku, pagi akan tetap disempurnakan kelahirannya untukku serta pula untuk gelaran bebukitan luas.'
  Sebagaimana engkau yang menyatukan jiwa dengan hati Tuhan, demikian jugalah tetes-tetes embun menyelimuti bunga lili di saat senja. Bila tetes embun bergumam : 'Namun akan menjadi setetes embun hanya dalam waktu seribu tahun', maka jawablah : 'Tidakkah engkau sadari betapa cahaya selalu berkilau memelukmu sepanjang masa?'

Thursday, May 13, 2010

Hikayat Al-Mustafa (Bagian Ketujuh)

  Seorang murid mengangkat suara kepada Al-Mustafa sewaktu mereka sedang duduk berteduh di bawah rindangan pohon putih, "Aku sangat takut pada waktu yang begitu saja melaju dan menghancurkan masa muda kami, Guru. Apa yang sebenarnya diberikan waktu kepada kami, Guru?"
  "Ambillah sekarang segenggam tanah," jawab Al-Mustafa. "Apakah kau temukan di balik gumpalannya sebutir benih atau seutas cacing? Seumpama tanganmu besar dan kuat, niscaya benih-benih itu akan menjelma hutan rimba dan cacing itu akan menjelma bidadari juwita. Ingatlah, tahun-tahun yang mengubah benih-benih menjadi hutan rimba dan cacing-cacing menjadi bidadari juwita adalah masa kini yang bergulir sepanjang tahun.
  Musim apakah yang hidup sepanjang tahun kalau bukan pikiramu itulah yang sebenarnya berubah? Musim semi adalah kebangkitan di balik hatimu. Musim panas adalah pengakuan atas kesuksesanmu. Tidakkah cuma musim gugur yang meninggalkanmu yang melagukan dongeng tidur bagi mereka yang masih kanak-kanak? Tidakkah musim dingin itu adalah tidur panjang yang penuh dengan mimpi-mimpi yang merindukan musim-musim lainnya? Begitukah?"
  Seorang murid Al-Mustafa yang selalu ingin tahumengamati tumbuh-tumbuhan yang kembangnya merekah merambati pohon-pohon sisamor. "Guru, lihatlah benalu itu," ucapnya. "Apa yang dapat engkau ceritakan tentangnya? Dengan sepasang mata yang lelah mereka mencuri cahaya kesetiaan dari anak-anak matahari dan mengurasi saripati yang mengalir ke dahan-dahan dan daun-daunnya."
  Al-Mustafa berkata, "Kawanku, kita semua sebenarnya adalah benalu. Kita yang membanting tulang untuk menyulap tanah menjadi kehidupan yang menggairahkan sungguh tidaklah lebih agung dibandingkan mereka yang langsung mendapatkan anugerah kehidupan dari tanah sekalipun tidak mengerti makna tanah itu. Apakah merupakan suatu kewajiban bagi seorang ibu untuk bergumam pada anaknya : 'Engkau akan kuserahkan ke hutan rimba. Ibumulah yang lebih mulia, tapi engkau menjadikanku, hatiku dan tanganku sangat lelah.' Atau tidak salahkah bila seorang penyanyi tiba-tiba menyesalkan iramanya dengan menukas : 'akibat suaramu yang telah menghabiskan nafasku, kini pulanglah engkau ke gua gemuruhmu tempat engkau berasal.' Tepatkah bila seorang pengembala berujar pada anak kudanya : 'Aku tak akan bisa lagi menuntunmu ke sana karena padang rumput telah gundul. Lebih baik kau kupotong dan kukorbankan untuk sebuah persembahan.'
  Kawanku, semua hal terjawab sebelum dipersoalkan. Sebagaimana mimpi-mimpimu, semuanya terwujud sebelum engkau tenggelam dalam lelap tidurmu. Kita yang hidup menurut hukum alam niscaya saling bergantung, dari dulu dan sampai kelak yang tak terbatas. Lebih baik kita hidup dalam kebaikan dan saling mengasihi. Kita saling mencari untuk mengusir kesendirian kita. Dan kita akan mengarungi jalanan manakala kita tidak lagi menyimpan sekerat hati yang sudi duduk berdampingan.
  Sahabat dan saudaraku. Percayalah betapa jalan-jalan akan terasa lebih lebar membentang bila bersama dengan sahabat-sahabatmu. Tanaman yang menumpang hidup di atas tanaman lain menghirup susu bumi dalam kesenyapan malam yang indah, sementara bumi mereguknya dari dada matahari dalam mimpi-mimpinya yang sarat dengan kesejukan. Matahari, juga diriku, engaku dan semua yang bersemayam disana, berada dalam penghargaan yang setara di antara pesta-pora Raja yang senantiasa membuka pintu istananya dan menyuguhkan meja jamuannya dengan rapi.
  Kawanku, semua yang menumpang hidupa di atas semua yang hidup serta semua yang hidup dalam iman sungguh tiada berbatas, itulah kebebasan Yang Tertinggi.
(Kahlil Gibran)

Monday, May 10, 2010

Hikayat Al-Mustafa (Bagian Keenam)


  Dengan diiringi sembilan muridnya, Al-Mustafa melangkah berseberangan dengan perempuan itu menuju sebuah pasar. Dia banyak berbincang pada orang-orang, kawan-kawan dan tetangga-tetangga, yang sanggup memantulkan kebahagiaan di hati mereka yang terbersit melalui bola matanya.
  "Kalian semua akan mengalami perkembangan di kala tidur," ujarnya pada mereka. "Kalian pun akan mengalami kehidupan di dalam mimpi-mimpi kalian. Dalam kesunyian malam, kalian telah menggunakan seluruh hari untuk mensyukuri anugerah yang telah kalian rengkuh. Kalian memang telah berkali-kali merenungkan dan mempergunjingkan malam sebagai waktu untuk beristirahat, kendati sebenarnya malam adalah masa pendakian dan pencapaian.
  Siang yang memberikan kekuatan pengetahuan pada kalian telah mengajari jemari kalian dengan trampil tentang seni. Tetapi ketahuilah, bahwa cuma malamlah yang membimbing kalian menuju suatu tempat di mana kekayaan kehidupan tersimpan di dalamnya. Matahari juga telah merekahkan kerinduan cahayanya. Tetapi ketahuilah bahwa hanya malamlah yang sanggup menerbangkan mereka menuju gemerlap sinar bintang-bintang.
  Sadarilah, hanya kesenyapan dan kepekatan malamlah yang berhasil merenda tirai perkawinan di pucuk-pucuk pepohonan belantara serta kembang-kembang wangi di tetamanan sebelum kemudian menaburkan pesta kenduri dan meriaskan ruangan pengantin. Hari esok tersembunyi di rahim Waktu hanya dalam kesunyian suci itu. Saat pendakian, kalian akan menjumpai hidangan dan kemewahan. Gulungan mimpi akan senantiasa menyebar dan ruangan pengantin akan selalu setia menunggu sekalipun kalian mampu mengusap habis segala kenangan itu di waktu terjaga."
  Orang-orang masih menunggu untaian kata yang akan diucapkannya kembali. Ia sejenak terdiam. Tapi kemudian berkata lagi, " Kalian semua adalah ruh yang berarak dalam jasadmu. Sebagaimana pelita di malam gulita, kalian adalah geliat api yang tersimpan di balik lentera. Seumpama kalian hanyalah semata onggokan tubuh, tentu kehadiranku dan semua yang kukatakan hanyalah kehampaan, yang menyerupai orang mati yang masih memanggili mayat. Tapi syukurlah kalian tidak seperti itu. Sepanjang hari dan malam, semua yang mati dalam dirimu masih bebas, tidak tertinggal atau terikat. Inilah kehendak Yang Maha Kuasa. Seperti gemelesir angin yang tak bisa ditangkap atau pun dikerangkeng, kalian adalah nafas Kehidupan. Sementara akulah itu desah nafas Kehidupan."
  Ia kembali ke taman meninggalkan kerumunan orang banyak dengan laju kaki sangat tergesa. Orang yang selalu ragu-ragu bertanya kepadanya, "Guru, ceritakanlah tentang kebusukan. Engkau belum bertutur tentang kebusukan."
  Al-Mustafa menyahut dengan suara yang seperti menyimpan sabetan cambuk di baliknya, "Siapakah yang tidak akan menjulukimu peramah ketika dia melalui rumahmu tetapi tidak mengetuk pintunya? Siapakah yang menyebutmu tuli dan pikun sementara dia mengajakmu berbincang tentang hal-hal asing yang tak pernah engkau ketahui? Engkau memang bukannya tidak pernah mengusahakannya. Hati siapakah yang engkau tak sudi meraihnya yang engkau anggap sebagai kebusukan?
  Kalaulah kebusukan itu memang benar-benar nyata wujudnya, ia seperti kain hitam yang menutupi penglihatan kita atau lilin yang menyumpal pendengaran kita. Sahabatku, jangan pernah mengatai semua hal itu busuk dan buruk, kecuali engkau menyimpan kecemasan jiwa akan terbitnya kenangan itu sendiri."
(Kahlil Gibran)

Friday, May 7, 2010

Hikayat Al-Mustafa (Bagian Kelima)

  Seorang perempuan tiba-tiba muncul di pintu gerbang taman ketika mereka tengah berjalan-jalan. Perempuan itulah yang bernama Karima yang teramat sangat dicintai Al-Mustafa. Dia menganggap Karima sebagai saudara perempuannya sendiri semenjak masih kanak-kanak. Karima hanya mematung tanpa menelurkan sebutir suara pun atau sekedar mengetuk pintu gerbang itu. Matanya menyorot ke arah taman itu dengan panorama yang sangat sarat oleh kerinduan dan kenestapaan.
  Buru-buru Al-Mustafa yang mampu menangkap geraian impian yang tersimpan di balik bola mata Karima melangkah ke arah dinding taman dan membukakan gerbangnya. Karima memasuki taman dengan sambutan yang mesra. Karima berkata, "Untuk apakah gerangan engkau menghindari kami sehingga kami tidak lagi bisa tenggelam dalam pancaran sinar romanmu? Ketahuilah, telah sekian tahun kami yang mencintaimu menunggu kedatanganmu dengan penuh kerinduan dan mengharapkanmu dalam keadaan sejahtera. Kini mereka semua sedang meratapimu dan sangat berhasrat untuk berbincang denganmu. Mereka memintaku untuk menemuimu, memohon agar engkau sudi menjumpai mereka, menuturkan kepada mereka semua tentang kebijakanmu, menguraikan penderitaan hati mereka yang remuk-redam serta memberi petunjuk pada kami yang masih saja selalu dilumuri kebusukan."
  Al-Mustafa menyahut sambil menatap Karima, "Sepanjang engkau belum menyebut semua manusia itu bijak, maka janganlah engkau mengataiku manusia bijak. Aku cumalah buah muda yang masih bergelantungan di rantingnya dan baru kemarin mencapai kematangannya. Dalam sinaran kebenaran, kita tidak bijak dan sekaligus tidak bodoh, karena itu jangan cerca diri kalian dengan sebutan bodoh. Kita semua adalah dedaunan hijau yang bertebaran di pohon kehidupan, sedangkan kehidupan itu sendiri berada jauh dari jangkauan kebijakan dan kebodohan.
  Apakah benar aku telah menghindarkan diri dari wajah kalian? Bukankah kalian juga menyadari betapa jarak tidak akan pernah ada sepanjang jiwa tidak lagi menghampar dalam impian? Jarak akan menjelma sehelai tembang dalam jiwa manakala jiwa telah menggelar jarak itu.
  Jarak yang menghampar antara engkau dan tetanggamu yang tak bersahaja akan terasa jauh lebih luas daripada jarak yang memisahkanmu dengan kekasihmu yang bersemayam di balik tujuh negeri dan tujuh samudera. Jarak tak akan tergelar dalam ingatan, kecuali dalam kekosonganlah terselip jurang perpisahan yang tak sanggup dijembatani oleh pendengaranmu atau pun penglihatanmu. Terdapat suatu jalur rahasia yang harus engkau tempuh sebelum engkau lebur dalam anak-anak bumi yang terletak di antara pantai dan puncak gunung tertinggi. Terdapat sebuah jalan rahasia di antara pengetahuan dan pengertianmu yang harus engkau belah sebelum engkau merasuk bersama manusia untuk kemudian kembali menyatu dengan dirimu sendiri.
  Terbentang jarak yang sangat luas antara tangan kanan yang engkau pergunakan untuk memberi dengan tangan kiri yang engkau pergunakan untuk menerima. Engkau hanya akan bisa menghancurkan jarak itu sewaktu engkau sanggup menganggap tangan kanan dan tangan kirimu sebagai pemberi dan penerima. Hanya melalui pemahamanlah engkau tidak akan lagi memiliki sesuatu pun untuk engkau berikan atau sesuatu pun untuk engkau terima.
  Ketahuilah, Karima, jarak yang paling jauh sebenarnya adalah apa yang terhampar antara penglihatan kita di kala tidur dan di kala jaga, serta antara penerapaan dang angan-angan. Sebelum menyatu ke tubuh kehidupan, Sungguh masih sangat banyak lorong yang harus engkau tapaki. Namun, maafkanlah, lorong-lorong itu tak akan kututurkan saat ini lantaran ku tahu kalian semua masih sangat kelelahan akibat jauhnya perjalanan yang kalian tempuh."
(Kahlil Gibran)
  

Thursday, May 6, 2010

Hikayat Al-Mustafa (Bagian Keempat)


  "Ceritakanlah padaku tentang apa yang sedang bergejolak di dalam hatimu." kata seseorang.
  Setelah memperhatikan orang itu, dia berujar melalui suaranya yang bergema layaknya sebuah bintang yang tengah bernyanyi, "Mimpi-mimpi di waktu terjaga. Ketika engkau tengah mematung dan lebih mendengarkan suara hatimu, impianmu yang menyerupai serpihan salju akan bergelantung jatuh melayang-layang dan menaburi segala irama yang berkumandang dari hatimu dengan putihnya kebisuan."
  "Apakah mimpidalam jaga itulah yang tengah menangkupi kuncup-kuncupnya dan bermekaran di ufuk batinmu? Tidakkah impianmu itu adalah mahkota yang  dihempaskan badai hatimu sehingga menyebar rata ke seluruh hamparan bebukitan dan leladanganmu?"
  "Ketika engkau sedang menunggu hadirnya kebahagiaan, sementara wujudmu yang tak memiliki bentuk pun telah menemukan bentuknya, awan akan tetap menggumpal  berarakan hingga Jemari Tuhan menjadikan ambisi hati sebagai serpihan kecil yang menyerupai matahari, bulan dan bintang."
  Orang yang ragu-ragu itu kemudian menimpali, "Akan tetapi, Guru, musim semi segera mengumandang yang akan menyebabkan semua salju impian dan anganan kita mencair sebelum kemudian lenyap seketika tanpa sebutir jejak pun."
  Dia pun menyahut, "Sewaktu musim semi tiba untuk menemukan kekasihnya di antara rimbun pepohonan dan ladang anggur yang tengah terlena dalam lelapnya, salju memang akan mencair, kemudian mengalir dan airnya akan terus mencari sungai dan lembah untuk menjadi dayang yang menghidangkan makanan bagi anggur dan semak putih yang wangi serta pohon salam.
  Begitulah salju hatimu akan melelh di musim semi yang mengunjungimu. Maka rahasia hatimu akan mengalir pula untuk mencari sungai dan lembah kehidupan.Lalu, sungai-sungai akan menguraikan rahasia hatimu dan melarutkannya ke dalam hamparan samudera nan luas.
  Sewaktu musim semi tiba, semuanya akan melelh dan menjadi melodi indah. Bintang-bintang pun, serpihan-serpihan salju yang merambat perlahan di antara ladang-ladang merentang akan pula mencair untuk menemukan sungai yang menembang penuh girang. Kebekuan apakah yang tidak akan berubah menjadi cairan sewaktu matahari bertahta di atas cakrawala yang tak terbatas? Siapakah di antara kalian yang tidak sudi menjadi pembantu yang akan menghidangkan anggur kepada belukar putih yang wangi dan pohon salam?
  Kalian baru saja menantangi gelombang samudera yang sangat bergemuruh, berdiri di pantai lepas dalam kebersamaan. Sebelum kemudian angin dan denyut kehidupan merenda tudung kecemerlangan sambil memeluk dan menghadiahkan suatu bentuk pada kalian semua. Kalian mencari langit yang menjulang dengan mengangkat kepala. Namun samudera akan terus menguntit dan nyanyiannya senantiasa akan bersama kalian. Laut akan selamanya menyanyikan naluri keibuannya sekalipun kalian telah melalaikan orangtuamu. Laut akan terus-menerus tanpa jemu memeluk kalian dalam dekapan indahnya. Sewaktu mengembara di pegunungan dan pepasiran, kalian akan selalu terkenang pada kedalaman batinnya yang menyejukkan. Sekalipun kalian kadangkala sulit memahami apa yang sedang dirindukan, tetapi semua itu lantaran irama kedamaiannya yang membahagiakan.
  Lalu apa yang terjadi? Manakala hujan menari-nari di kepala dedaunan, ketika salju menjatuhkan dirinya dengan perlahan, di antara belukar dan puncak bebukitan, ada pertanda bagi suatu anugerah yang dijanjikan. Di lembah-lembah, ketika menuntun segerombolan ternak untuk memasuki tepian sungai; di kala anak-anak mengalirkan air yang berkemilauan dan menyatu dengan bentangan ladang-ladang yang kehijauan; ketika embun pagi memancarkan semburat langit di perkebunan; atau pun kabut tipis di kala senja yang menutupi jalanmu di atas rerumputan; atas semuanya itulah, manakala gelegar gelombang laut menyatu dalam jiwa, mereka bersaksi akan asal-usul dan mengharapkan cinta kasih kalian.
  Ketahuilah, itulah serpihan-serpihan salju yang bersemayam dalam diri kalian dan akan mengalir untuk menemukan lautan."
(Kahlil Gibran)

Monday, May 3, 2010

Hikayat Al-Mustafa (Bagian Ketiga)

  Al-Mustafa melangkah gontai ke taman orang tuanya, lalu menyelinap kedalamnya dan kemudian menutup pintu gerbangnya. Tak ada seorangpun yang pernah diijinkannya untuk mengiringi langkahnya. Dia mendekam di taman itu dalam sebuah bangunan selama empat puluh hari empat puluh malam. Semua orang telah mengerti apa yang diinginkannya untuk menyendiri sehingga tak ada seorangpun yang berkunjung atau menjenguknya melalui pintu gerbang yang mengatup rapat itu.
  Barulah selepas empat puluh hari empat puluh malam ia menguak pintu gerbang tamannya sebagai pertanda bahwa ia telah bersedia menyambut kunjungan mereka yang ingin menjumpainya. Ada sembilan orang yang mendatanginya; tiga awak kapalnya sendiri, tiga lainnya adalah orang-orang yang membantunya dalam upacara di kuil dan tiga orang lagi adalah kawan-kawan sepermainannya di masa silam. Semua orang itu adalah murid-muridnya.
  Ketika sang fajar merekah, kesembilan murid itu mengitarinya dengan masing-masing wajah menempiaskan tatapan yang menerawang jauh ke masa lalu dengan bola mata yang mengerami berjuta kenangan. Hafiz, salah seorang muridnya, berkata padanya, "Guru, tuturkan apa yang disebut dengan kota Orphalese serta negeri-negeri yang telah engkau huni selama dua belas tahun."
  Mata Al-Mustafa melayang jauh ke bentangan bebukitan serta keluasan angkasa. Hatinya berkecamuk dalam kesunyian. "Sahabat-sahabat dan kawan-kawan perjalananku," ujarnya kemudian. "Sungguh celaka bangsa yang tak memiliki agama sekalipun dijubeli oleh kepercayaan-kepercayaan. Sungguh nista bangsa yang mengagungkan orang dzalim  laiknya pahlawan dan menyanjung-nyanjung penjajah sebagai bangsa yang berkuasa perkasa. Sungguh rendah bangsa yang melecehkan ambisi mimpi-mimpi tetapi terkulai lemas tatkala jaga.
  Betapa celaka bangsa yang tak berani menyampaikan kata-katanya sendiri kecuali bila tengah bergandengan mesra dengan liang kubur. Bangsa yang tak menyimpan kebanggaan kecuali ketika sedang tengkurap di antara puing-puing keruntuhannya. Bangsa yang tidak menggeliat bangkit kecuali manakala batang lehernya telah dikalungi oleh mata pedang dan tempat pemancungan.
  Celakalah bangsa yang memiliki negarawan berupa seekor serigala, yang memiliki filosof berupa para penipu dan memiliki karya seni berupa tiruan-tiruan. Betapa malangnya bangsa yang menyambut penguasa barunya dengan mengumandangkan tiupan terompet-terompet, lalu menangis penuh duka waktu mengucapkan selamat tinggal padanya, tetapi kemudian menyambut penguasa baru penggantinya dengan tiupan terompet-terompet yang sama. Celaka benar bangsa yang hanya memiliki cendekiawan yang bertahun-tahun tumpul telinganya dan orang-orang kuatnya masih mengeram dalam kereta-kereta bayi.
  Celakalah sebuah bangsa yang terbelah-belah dalam bagian wilayah-wilayah, dan setiap bagiannya memproklamasikan dirinya sebagai suatu bangsa."
(Kahlil Gibran)

Saturday, May 1, 2010

Hikayat Al-Mustafa (Bagian Kedua)

  Al-Mustafa mengayunkan tapak kakinya di atas jalan setapak yang akan menghantarnya ke sebuah taman yang dimiliki orang tuanya, di mana jasad ayah dan ibu beserta leluhurnya disemayamkan, meninggalkan mereka semua. Mereka yang akan mengiringinya serta-merta menyadari bahwa kejadian itulah yang menjadi simbol bagi kembalinya sang guru. Di antara orang banyak, sang guru merasa sangat kesepian lantaran tidak ada lagi sanak-kadang yang menyambutnya dengan penuh sorak sorai bahagia. 
  Tetapi nahkoda kapal mengingatkan mereka dengan suaranya yang lantang, "Jika dia menempuh jalan itu, dia akan menderita. Makanannya cumalah roti kesunyian dan piala minumannya hanya menampung anggur nostalgia silam yang akan direguknya seorang diri."
  Para pelaut seketika menguburkan niatnya untuk mengiringi sang guru. Mereka tahu hanya kejadian itulah yang di inginkan oleh sang nahkoda kapal. Semuanya yang berkerumun di pinggir pantai itupun segera menyimoan niat dan hasratnya.
  Kecuali itu, hanya Karimalah  yang menyusul langkah sang guru dalam jarak beberapa meter di belakangnya. Al-Mustafa terbelenggu dalam kesunyian dan nostalgia masa silamnya. Tetapi sejurus kemudia Karima berbalik arah dan melangkah ke rumahnya. Di bawah sebuah pohon Almon dalam sebuah taman, entah lantaran apa ia sedang mengalirkan air matanya.

Thursday, April 29, 2010

Hikayat Al-Mustafa (Bagian Pertama)

 
  Al- Mustafa, sang lelaki terkasih, telah pulang ke tanah kelahirannya pada bulan penuh kemenangan, bulan Tichreen, di kala sang surya menikam dengan sangat panas. Perasaan ingin menjenguk tanah kelahirannya sangat bergejolak di hatinya. Ia mematung di atas geladak kapalnya dengan dikitari oleh para awak kapal.
  Suaranya yang berdentang gemuruh membelah gelombang laut : "Lihat tanah kelahiran kita. Disitulah Bumi melahirkan kita, memuncratkan irama-irama dan persoalan-persoalan yang masih sangat misterius. Gemuruhnya mendaki ke angkasa, misterinya menyelusup ke perut Bumi. Apakah ada sesuatu yang sanggup membelah persoalan-persoalan itu jikalau tidak kita sendiri yang melakukannya? Adakah sesuatu itu di antara Langit dan Bumi?
  Laut kembali mengantarkan kita ke tepian pantai. Kita hanyalah serpihan riak di antara gelombangnya. Laut membanting kita semua untuk menegaskan kekuasaannya. Mungkinkah kita melakukannya jikalau kita tidak meleburkan hati kita dengan karang dan pasir?
  Inilah kepastian hukum bagi pelaut dan lautannya. Kalian harus menjelma kabut untuk mencapai kemerdekaan. Sebab semua yang tak memiliki bentuk akan serta-merta mencari bentuknya. Bahkan termasuk kabut yang berkemilau menjelma ribuan matahari dan rembulan. Kita yang telah lelah melakukan pencarian sekarang mesti kembali ke tanah kelahiran ini. Kita harus menjelma kabut dan kembali mengawali dari permulaan untuk menemukan bentuk yang hakiki. Jika tidak meleburkan diri dengan semangat yang bergemuruh dan kebebasan, masih bisakah bagi kita untuk menangguk kehidupan dan kembali memanjatkannya ke puncaknya?
  Kita akan selamanya senantiasa mencari tepian pantai. Agar kita bisa bernyanyi dan nyanyian kita bisa didengarkan. Tetapi gelepar gelombang apakah yang akan meleburkannya jikalau tidak ada lagi liang telinga yang kuasa menyimaknya? Gelegar yang sanggup mengikis duka nestapa kita inilah yang tak akan tersimak dalam detakan jiwa kita. Sekalipun sesungguhnya gelegak gelombang yang tak tersimak itulah yang akan menjadikan jiwa kita menemukan wujudnya dan mengendalikan laju hidup kita.
  Salah seorang pelaut melaju dengan suara, "Engkau telah menuntun kerinduan di hati pada pantai ini, Guru. Tapi lihatlah, Guru, sewaktu kita telah tiba, mengapa engkau justru menyanyikan nada-nada sumbang penderitaan dan kenestapaan hati?"
  Al-Mustafa menukas, "Engkau tidak paham, tidakkah aku mewartakan kemerdekaan dan kabut yang merupakan kebebasan yang paling hakiki? Laksana jiwa manusia yang tergeletak tanpa daya dan menyembah para pelaku yang telah menjadikannya terbunuh, sungguh akan menyedihkan jikalau kuziarahi tanah kelahiranku."
  Pelaut yang lain pun segera menimpali, " Tataplah dengan cermat keriuhan orang-orang di pinggir pantai itu. Mereka telah meramalkan hari kepulanganmu dalam kesunyiannya. Dengan kompak mereka tinggalkan ladang dan kebun anggur hanya untuk sekedar melunasi kerinduan atas kedatanganmu."
  Al-Mustafa Mencermati keriuhan orang-orang di pinggir pantai itu. Hatinya gemuruh oleh kerinduan mereka. Ia sekilas membisu.
  Mendadak menjulanglah pekikan lantang dari keriuhan orang-orang di pinggir pantai itu. Jeritannya terasa sangat menghiba. Sambil menatap para pelaut, ia berteriak, " Apa yang telah kusuguhkan bagi mereka? Akulah pemburu yang jauh dari pengembaraannya. Aku telah menerbangkan anak panah emas yang mereka persembahkan, tetapi aku tak mampu membawa pulang seekor buruan pun. Aku tidak menguntiti anak panah yang melesat jauh itu. Barangkali kini mereka telah mendekati matahari. Membawa bulu rajawali yang penuh luka dan darah serta tak akan pernah kembali lagu ke bumi. atau barangkali seutas anak panah itu telah digenggam oleh tangan-tangan yang tak memperdulikannya kecuali setangkup roti dan seteguk anggur.
  Aku pun tak tahu kemana anak panah itu hengkang. Kecuali yang kutahu adalah sisa bayangan yang melengkung di ufuk langit. Namun begitu, denyut cinta masih mengalun dalam hatiku. Duhai para pelautku, kalian pun masih terus mengarungi lamunanku. Aku tak pernah menutup telinga. Aku akan melengking setinggi langit manakala jari-jari musim sedang mencekik tenggorokanku. Aku akan melafalkan syair-syair manakala bibirku terbakar oleh api."
  Orang-orang gelisah mendengar lengkingan itu. Salah seorang berucap, "Ajarkan semua ilmumu pada kami, Guru. Semoga kami bisa meresapinya. Sebab darahmu mengalir dalam nadi-nadi kami dan aromamu menyatu dengan nafas kami."
  Melalui nada suaranya yang bergemelesir layaknya angin, Al-Mustafa menimpali, "Menjadi guru kalian untuk menunjukkan pada kalian jalan yang menuju tanah kelahiranku? Aku belum kunjung bijaksana. Usiaku terlalu belia, masih terlampau dini untuk menuturkan tentang hal-hal lain di luar kehidupanku sendiri. Masih banyak hal-hal yang mesti kupelajari. Biarkan mereka yang menyimpan kebijakan mencarinya dalam rekahan kembang atau dalam sebongkah tanah merah. Aku adalah seorang penyanyi. Dan aku masih saja mengumandangkan nyanyian bumi. Aku pun tetap melantunkan mimpi-mimpi kalian yang terus melayang-layang antara jaga dan lelap. Aku hanya ingin menatap lautan luas."
  Kapal itu pun merapat ke dermaga dan mencapai pinggir pantai. Dia menjejakkan tapak kakinya di tanah kelahirannya. Dia berdiri dikitari para pengikutnya. Tangis pilu kerinduan menyayat-nyayat memancar dari hati mereka sampai menusuk ufuk sanubarinya.
  Mereka membisu hendak menyimak tuturan yang akan disuarakannya. Tetapi lantaran kesedihan akan kenangan-kenangan silam begitu kukuh bersijingkat di kelambu pikirannya, tak ada secuil kata pun yang terlontarkan. Ia hanya bergumam dalam hati, "Betulkah telah kujanjikan bahwa aku akan menyanyi? Tidak! Sekalipun aku memang sanggup menguak katupan bibirku agar nyanyian kehidupan melantun dan melayang dalam lipatan angin untuk kebahagiaan dan kesenangan mereka."
  Seorang perempuan yang diingatnya sering bermain bersamanya di taman ibunya yang bernama Karima menguraikan suaranya, "Telah kusembunyikan wajahmu dari tatapan kami selama dua belas tahun. Dan selama dua belas tahun itu pulalah kami selalu merasa kelaparan dan kehausan ingin mereguk suaramu."
  Ia menatap Karima dengan pandangan yang diselimuti kemesraan yang begitu membara. Ia ingat, Karima lah yang telah mengatupkan kelopak mata ibunya sewaktu jari-jari indah kematian menyepuh seutas nyawanya.
  Katanya kemudian, "Dua belas tahun. Karima, betulkah kau mengucapkan dua belas tahun itu? Tidak pernah kutakar kerinduanku dengan pengukur yang berjubahkan bebintangan. Aku pun tidak pernah menghitung kedalamannya. Sebab kutahu cinta akan mengantarai perhitungan ruang dan waktu manakala cinta sedang dibaluri rindu. Ada waktu yang mengerami masa perpisahan. Perpisahan bisa bermakna tererosinya pikiran. Sementara barangkali kita tidak akan terpisahkan selamanya."
  Al-Mustafa menatap orang-orang yang membeku bisu di hadapannya, orang-orang yang belia, yang tua berkarat, yang gagah atau yang lemah tak berdaya, yang kulitnya merah lantaran tersepuh tempias angin atau kilatan matahari serta mereka yang parasnya pucat pasi. Pada wajah-wajah itu menyeburat kilau-kilau kerinduan dan rasa penasaran yang amat benderang.
  "Guru, denyut kehidupan kami telah dikangkangi harapan dan ambisi yang terasa sangat menyayat," ujar salah seorang di antara mereka. "Hati kami selalu gelisah tanpa pernah sanggup kami pahami. Kami hanya berdoa semoga engkau akan menjadikan jiwa kami bahagia dan menanamkan pengertian mulia pada pikiran kami tentang makna derita yang kami tapaki."
  Dengan hati tersaput rasa iba, diucapkannya sesuatu, "Di antara semua kehidupan, kehidupanlah yang lebih tua. Keindahan telah meriasi dirinya sebelum ditebarkan di muka bumi ini. Kebenaran telah diajarkan hakikatnya sebelum berhasil diungkapkan. Dalam kesunyianlah kehidupan berdendang dan dalam tidur yang lelaplah impian berkumandang. Di saat kita pun sedang terjungkal dalam lemah dan nista, kehidupan pun telah berdiri dengan mulia dan bersahaja. Kehidupan tetap tersenyum sepanjang waktu justru di saat kita mengalirkan air mata. Kehidupan tetaplah berkelindan bebas sekalipun kita terkurung dalam penjara.
  Tetapi kita senantiasa menyalahkan kehidupan dengan suara-suara sumbang, yang dilakukan manakala kita tengah dihimpit nestapa dan gulita. Kita melecehkan kehidupan sebagai yang nihil dan tak berpengharapan, Yang dilakukan manakala jiwa kita tengah nelanggut dalam petualangan panjang di padang sunyi kerontang yang sangat jauh membentang. Sesungguhnya kita sedang mabuk oleh egoisme kita sendiri. Sementara kehidupan itu sangat jauh, dalam dan mulia, dan hanya tatapanmu yang merentang luas yang sanggup menjamah kaki-kakinya. Tetapi kehidupan tetaplah dekat. Bayangan demi bayanganmu tetap melintas di sanubarinya kendati desah jantungmu dapat mengelupasi hatinya. Gelegar jeritanmu tetaplah menjadi semi dan gugur dalam hatimu sendiri.
  Kehidupan tersimpan dan tersembunyi, sekalipun dirimu sedang tersimpan dan tersembunyi. Selaksa desau angin akan menjelma kata-kata manakala kehidupan berbisik. Semua kuluman senyum dan lelehan air matamu pun akan menjadi kata-kata ketika kehidupan kembali bertutur. Siapa pun akan mampu menangkap dan menanamkan suaranya manakala kehidupan mulai menembang. Manusia yang buta pun akan mampu melihatnya untuk kemudian mengiringinya dengan penuh kagum dan heran manakala kehidupan mulai melangkah mendekatinya."
  Kesunyian serta-merta menangkupi hati dan jiwa mereka ketika Al-Mustafa menghentikan suaranya. Di balik kesunyian, terkumandang tembang tanpa irama, yang sanggup menggiring mereka memasuki kebahagiaan dalam kesepian dan kenestapaan. (Kahlil Gibran)