Seorang pembantu kuil menghadap Al-Mustafa sambil memohon, "Guru, ajarkanlah padaku agar semua ucapanku menyerupai kata-katamu, menjadi nyanyian agung yang sewangi parfum dalam indera kami semua."
Dengan kata-katanya yang penuh kasih Al-Mustafa menjawab, "Kalian harus melampaui kata-kata. Kendati jarak perjalanan kalian menyimpan tembang dan wangi parfum : tembang bagi para pecinta dan kekasihnya serta wangi parfum bagi siapapun yang menghuni taman-taman. Dankalian harus melampaui kata-kata dengan mendaki puncaknya dimana debu-debu bintang gugur bertebaran dan kalian menengadahkan telapak tangan kalian sampai penuh terisi, sebelum akhirnya kalian merebahkan jasad-jasad kalian dan lelap tertidur sebagaimana anak burung yang bulunya putih cemerlang di sebuah sarang putih. Kalian memimpikan masa depan seperti sekuncup bunga yang mengharapkan musim semi.
Segala kata-kata harus kalian gali kembali sampai jauh lebih dalam. Hingga kalian menemukan kembali sumber air sungai yang hilang, di mana kalian bisa menjadi gua yang tersimpan rapat yang mengumandangkan irama yang lamat-lamat dari balik liangnya yang tak bisa kalian tangkap lagi sekarang. Kalian pun mesti menggali lebih dalam lagi daripada kata-kata, lebih dalam daripada semua suara mengaung, hingga membelah rongga dada bumi. Di situlah kalian akan mampu melebur bersama Dia yang menapaki hamparan galaksi Bimasakti."
Seorang muridnya yang lain sekilas bertanya, "Guru, jelaskan pada kami apa yang dimaksud dengan wujud? Bagaimanakah wujud itu?"
Sambil bangkit perlahan setelah mencermati roman muridnya sekilas, Al-Mustafa melangkah agak jauh dari mereka, sebelum kemudian kembali lagi sambil bersuara, "Ayah dan ibuku bersemayam di taman ini, dikuburkan oleh jari jemari kehidupan. Di taman ini jugalah tertanam benih-benih yang ditebarkan oleh kepak-kepak sayap angin. Seribu kali ayah dan ibuku dikuburkuan di sini maka seribu kali jugalah kepak-kepak sayap angin menaburkan benih-benih di sini. Lantas seribu tahun yang akan datang, kalian, aku dan kembang-kembang itu akan melebur kembali di taman ini sebagaimana yang kini kita jalani. Kita akan selalu hidup untuk merindukan kehidupan dan kita akan senantiasa hidup untuk menghasratkan cakrawala serta kita akan serta merta menggeliat untuk menjamah matahari.
Kini menjadi wujud adalah menjadi bijak tanpa menjadi asing di antara orang-orang bodoh. Kita menjadi gagah perkasa tanpa menghancurkan orang-orang lemah. Walaupun kita bukanlah ayah, namun kita bebas bermain bersama anak-anak sebagai teman sepermainan yang juga tekun mempelajari permainan-permainan mereka. Menjadi wujud adalah menjadi sederhana, jujur kepada orang tua dan bersanding mesra bersama mereka di bawah rindang pepohonan tua yang teduh sekalipun engkau sendiri masih saja mengagumi kemolekan musim semi. Menjadi wujud seperti halnya mencari seorang pujangga yang barangkali bersemayam di balik tujuh sungai, di mana kedamaian akan merekah bersama keberadaannya. Jangan menghasratkan sesuatu atau was-was ataupun memuntahkan satu persoalan pun dari pematang bibirmu.
Menjadi wujud adalah menyadari betapa orang-orang suci dan berdosa adalah saudara kembar yang sama-sama berayahkan Raja Agung. Lantaran yang seorang dilahirkan beberapa kilas sebelum yang seorang lainnya dilahirkan, maka kita kemudian menjulukinya Putera Mahkota. Menjadi wujud dituntut untuk menapaki jejak-jejak keindahan sekalipun sedang menggiringmu ke bibir jurang. Ikutilah Dia, kendati harus melalui bibir jurang, sekalipun dia memiliki sayap dan engkau tidak memilikinya, karena semua hal akan serta merta kosong nan hampa manakala Keindahan tidak lagi bertahta.
Menjadi wujud mesti tabah dijarah, didusta, dinista, disesatkan, diperdayai, sebelum kemudian dilecehkan. Kalian akan bisa menatap ke bawah dari balik ketinggian senyumanmu yang kudus hanya melalui semua itu. Kalian akan menyadari betapa di suatu kelak musim semi akan menghampiri tamanmu untuk berdansa bersama daun-daun, juga musim gugur yang akan mampir untuk mematangkan anggur-anggur kalian. Jika salah satu jendela kalian terkuak tengadah ke arah timur, maka kalian akan mengerti betapa kalian tidak pernah sendiri dalam kesenyapan. Kalian akan memahami betapa semua yang dituduh sebagai penjarah, pendusta dan bajingan senantiasa sebagai saudara di waktu kalian membutuhkan uluran tangannya sekalipun mata penduduk Kota Maya ini akan menyebutmu sebagai bagian dari mereka.
Sementara bagi kalian yang tangannya karib dengan segala benda yang dihasratkan manusia demi kecemerlangan siang dan kebahagiaan malam. Menjadi wujud adalah menjadi perenda yang mampu melihat melalui jari-jarinya, menjadi pembangun yang menyadari makna cahaya dan ruang, pengolah ladang yang merasakan bagaimana kalian menghindarkan limpahan kekayaan dari setiap bibit yang ditebarkan, nelayan dan pemburu yang menyimpan iba untuk ikan dan buruannya, tetapi masih jauh lebih iba pada manusia yang ditikam kelaparan dan kesengsaraan.
Kukabarkan pada kalian apa yang terpenting ini : aku akan mewartakan suatu suri teladan untuk menggapai setiap ambisi manusia. Dengan cara itulah kalian bisa berharap untuk menggapai ambisi kalian. Para sahabat dan pelautku yang kusayangi, kalian harus menjadi pemberani dan tak mudah putus asa. Bukalah dirimu dan jangan menyumpalnya samapi tiba saatnya nanti nafas terakhir berkibar. Jadikanlah apa yang lebih mulia sebagai diri kalian."
Begitu diketahuinya di wajah kesembilan muridnya berkilau rona kegelisahan, sementara hati mereka tak lagi terpatri padanya, lantaran kata-katanya tak kuasa dipahami oleh mereka, maka Al-Mustafa pun menghentikan laju suaranya.
Ditatapnya tiga pelaut yang sangat menghasratkan samudera luas serta orang-orang yang telah melayani upacara kuil yang merindukan keteduhan tempat kudusnya. Orang-orang yang telah menjadi teman sepermainannya sejak dulu kala tak lagi sabar untuk meleburkan diri dalam keriuhan pasar. Semuanya tuli dan tidak kuasa mencairkan apa yang telah dikumandangkannya. Kata-katapun memantul kembali kepadanya layaknya beburungan yang kehilangan sarang-sarangnya serta telah capai untuk menemukan tempat berlindung. Al-Mustafa pergi menghindari semua yang berkerumun di taman itu. Ia bisu menunduk tanpa memalingkan mata kepada mereka.
Mereka segera bertanya-tanya dan berupaya menemukan alasan yang akan memungkinkan mereka untuk melangkah pulang. Tapi akhirnya mereka hanya membalikkan badan dan pulang begitu saja ke rumah masing-masing. Kini hanyalah Al-Mustafa, lelaki pilihan dan terkasih, yang berdiam seorang diri.
(Kahlil Gibran)
Sambil bangkit perlahan setelah mencermati roman muridnya sekilas, Al-Mustafa melangkah agak jauh dari mereka, sebelum kemudian kembali lagi sambil bersuara, "Ayah dan ibuku bersemayam di taman ini, dikuburkan oleh jari jemari kehidupan. Di taman ini jugalah tertanam benih-benih yang ditebarkan oleh kepak-kepak sayap angin. Seribu kali ayah dan ibuku dikuburkuan di sini maka seribu kali jugalah kepak-kepak sayap angin menaburkan benih-benih di sini. Lantas seribu tahun yang akan datang, kalian, aku dan kembang-kembang itu akan melebur kembali di taman ini sebagaimana yang kini kita jalani. Kita akan selalu hidup untuk merindukan kehidupan dan kita akan senantiasa hidup untuk menghasratkan cakrawala serta kita akan serta merta menggeliat untuk menjamah matahari.
Kini menjadi wujud adalah menjadi bijak tanpa menjadi asing di antara orang-orang bodoh. Kita menjadi gagah perkasa tanpa menghancurkan orang-orang lemah. Walaupun kita bukanlah ayah, namun kita bebas bermain bersama anak-anak sebagai teman sepermainan yang juga tekun mempelajari permainan-permainan mereka. Menjadi wujud adalah menjadi sederhana, jujur kepada orang tua dan bersanding mesra bersama mereka di bawah rindang pepohonan tua yang teduh sekalipun engkau sendiri masih saja mengagumi kemolekan musim semi. Menjadi wujud seperti halnya mencari seorang pujangga yang barangkali bersemayam di balik tujuh sungai, di mana kedamaian akan merekah bersama keberadaannya. Jangan menghasratkan sesuatu atau was-was ataupun memuntahkan satu persoalan pun dari pematang bibirmu.
Menjadi wujud adalah menyadari betapa orang-orang suci dan berdosa adalah saudara kembar yang sama-sama berayahkan Raja Agung. Lantaran yang seorang dilahirkan beberapa kilas sebelum yang seorang lainnya dilahirkan, maka kita kemudian menjulukinya Putera Mahkota. Menjadi wujud dituntut untuk menapaki jejak-jejak keindahan sekalipun sedang menggiringmu ke bibir jurang. Ikutilah Dia, kendati harus melalui bibir jurang, sekalipun dia memiliki sayap dan engkau tidak memilikinya, karena semua hal akan serta merta kosong nan hampa manakala Keindahan tidak lagi bertahta.
Menjadi wujud mesti tabah dijarah, didusta, dinista, disesatkan, diperdayai, sebelum kemudian dilecehkan. Kalian akan bisa menatap ke bawah dari balik ketinggian senyumanmu yang kudus hanya melalui semua itu. Kalian akan menyadari betapa di suatu kelak musim semi akan menghampiri tamanmu untuk berdansa bersama daun-daun, juga musim gugur yang akan mampir untuk mematangkan anggur-anggur kalian. Jika salah satu jendela kalian terkuak tengadah ke arah timur, maka kalian akan mengerti betapa kalian tidak pernah sendiri dalam kesenyapan. Kalian akan memahami betapa semua yang dituduh sebagai penjarah, pendusta dan bajingan senantiasa sebagai saudara di waktu kalian membutuhkan uluran tangannya sekalipun mata penduduk Kota Maya ini akan menyebutmu sebagai bagian dari mereka.
Sementara bagi kalian yang tangannya karib dengan segala benda yang dihasratkan manusia demi kecemerlangan siang dan kebahagiaan malam. Menjadi wujud adalah menjadi perenda yang mampu melihat melalui jari-jarinya, menjadi pembangun yang menyadari makna cahaya dan ruang, pengolah ladang yang merasakan bagaimana kalian menghindarkan limpahan kekayaan dari setiap bibit yang ditebarkan, nelayan dan pemburu yang menyimpan iba untuk ikan dan buruannya, tetapi masih jauh lebih iba pada manusia yang ditikam kelaparan dan kesengsaraan.
Kukabarkan pada kalian apa yang terpenting ini : aku akan mewartakan suatu suri teladan untuk menggapai setiap ambisi manusia. Dengan cara itulah kalian bisa berharap untuk menggapai ambisi kalian. Para sahabat dan pelautku yang kusayangi, kalian harus menjadi pemberani dan tak mudah putus asa. Bukalah dirimu dan jangan menyumpalnya samapi tiba saatnya nanti nafas terakhir berkibar. Jadikanlah apa yang lebih mulia sebagai diri kalian."
Begitu diketahuinya di wajah kesembilan muridnya berkilau rona kegelisahan, sementara hati mereka tak lagi terpatri padanya, lantaran kata-katanya tak kuasa dipahami oleh mereka, maka Al-Mustafa pun menghentikan laju suaranya.
Ditatapnya tiga pelaut yang sangat menghasratkan samudera luas serta orang-orang yang telah melayani upacara kuil yang merindukan keteduhan tempat kudusnya. Orang-orang yang telah menjadi teman sepermainannya sejak dulu kala tak lagi sabar untuk meleburkan diri dalam keriuhan pasar. Semuanya tuli dan tidak kuasa mencairkan apa yang telah dikumandangkannya. Kata-katapun memantul kembali kepadanya layaknya beburungan yang kehilangan sarang-sarangnya serta telah capai untuk menemukan tempat berlindung. Al-Mustafa pergi menghindari semua yang berkerumun di taman itu. Ia bisu menunduk tanpa memalingkan mata kepada mereka.
Mereka segera bertanya-tanya dan berupaya menemukan alasan yang akan memungkinkan mereka untuk melangkah pulang. Tapi akhirnya mereka hanya membalikkan badan dan pulang begitu saja ke rumah masing-masing. Kini hanyalah Al-Mustafa, lelaki pilihan dan terkasih, yang berdiam seorang diri.
(Kahlil Gibran)
No comments:
Post a Comment