Selamatan merupakan ajaran Jawa untuk menyelamatkan jiwa orang yang sudah meninggal dunia. Ajaran ini sudah ada sebelum masuknya agama Hindu dan Budha ke Nusantara (untuk mengetahui arti nusantara bisa klik di link saya yang berjudul Asal Mula Nama Indonesia). Tentu saja dalam perjalanannya selamatan ini mendapat pengaruh ajaran Hindu dan Budha. Akan tetapi, yang diganti itu hanyalah mantranya / doanya. Prinsip dari selamatan itu sendiri masih tetap. Dan setelah Islam masuk, berbagai tata cara dan mantranya diubah disesuaikan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Manusia tidaklah seperti binatang. Binatang mati tidak membutuhkan upacara penyelamatan jiwanya. Tapi, manusia melakukan upacara. Mula-mula amat primitif tata caranya. Hanya sekedar mengirimkan puja-puji dan mantra. Kemudian pada tahap yang lebih maju, adanya seseorang yang mampu berkomunikasi dengan jiwa orang yang telah meninggal, diperlukan untuk memimpin upacara tersebut. Dalam perkembangan lebih lanjut, bisa jadi upacara selamatan tersebut hanyalah sekedar formalitas seremonial saja. Isinya telah kosong, hanya tinggal kulitnya saja.
Mungkin ada yang mengatakan bahwa acara selamatan itu bid'ah. Hal itu karena orang tersebut berpandangan bahwa hanya dirinya sendiri yang bisa menjadi penyelamat jiwanya nanti. Yaitu dengan cara menjadi manusia yang beriman dan beramal saleh. Bagi orang tersebut, selamatan juga dianggap melakukan hal yang tidak berguna. Bahkan ada yang menganggap selamatan sebagai amalan yang membebani keluarga yang ditinggal mati. Karena itu, selamatan dianggap menjerumuskan pelakunya masuk neraka. Berbuat bid'ah dianggap sesat. Dan setiap yang sesat membawa menuju ke neraka.
Memang benar, untuk mencapai kesadaran, atau memperoleh pencerahan hidup, semuanya tergantung kepada pribadi masing-masing. Sama dengan orang yang ingin menjadi pintar, tentu dirinya sendiri yang bisa meraihnya. Tapi, jangan lupa bahwa guru atau orang lain itu berfungsi untuk membantu seseorang menemukan jalan hidupnya. Ya, fungsi orang lain adalah membantu! Bahkan bantuan itu yang seolah-olah mewujudkan tercapainya seseorang pada tujuan hidupnya.
Sama seperti seorang ibu yang hendak melahirkan. Secara normal, tanpa bidan atau dokter pun seorang ibu bisa melahirkan anaknya, jika sudah pada waktunya. Tetapi, kenyataan dalam kehidupan tidak seratus persen berjalan normal. Ada ibu yang kesulitan melahirkan, akhirnya memerlukan bantuan dari bidan atau dokter.
Apakah dalam Islam tidak ada upacara penyelamatan jiwa orang yang telah meninggal? Apakah jiwa orang yang telah meninggal tidak dapat ditolong oleh orang yang masih hidup untuk memperoleh keselamatan hidup di akhirat? Secara eksplisit, secara jelas ajaran penyelamatan jiwa orang yang meninggal memang tidak ada. Tetapi secara implisit, ada. Kalau begitu, kenapa tidak diungkapkan secara jelas sehingga orang tidak meraba-raba jaran Islam? Karena basis hidup masyarakat di Jazirah Arabiapada awalnya belum mengenal hidup setelah mati. Masyarakat arab pada saat itu berpandangan bahwa setelah kematian tidak ada apa-apa lagi.
Tetapi, kedatangan Islam telah mengajarkan teknis penyelamatan. Yaitu dengan melaksanakan shalat jenazah atau shalat gaib. Cara inilah yang diajarkan Rasul. Dengan cara shalat jenazah, masyarakat arab tidak mengalami kesulitan untuk melaksanakannya. Memandikan mayat juga termasuk upacara penyucian jiwa si mayat. Dengan dimandikan dan dan dishalatkan itu, diharapkan jiwa orang yang meninggal tersebut mendapat ampunan dan perlindungan Tuhan. Diharapkan jiwa orang yang meninggal itu bisa kembali kepada Tuhan. Paling tidak, jiwa orang yang meninggal tersebut tidak mengalami siksa kubur.
No comments:
Post a Comment