Sewaktu menapakkan kakinya di perbukitan, malam telah melanglangi permukaan tanah. Laju kakinya telah membawanya mengembarai kabut. Di antara karang dan batang pohon putih yang tersembunyi dari segala penglihatan, Al-Mustafa berdiri sambil bergumam :
"Duhai kabut, saudara perempuanku, nafas suci yang belum bertunas, aku kembali mengunjungimu, nafas sepi dan kudus, seperti kata-kata yang belum terlontarkan.
Duhai kabut, saudara perempuanku yang bersayap, tibalah saatnya kita untuk bersatu. Kita akan senantiasa bersatu sampai kehidupan selanjutnya menyaput kita. Fajar akan menelungkupkanmu seperti tetes-tetes embun yang berpelukan di taman-taman. Aku akan menjelma bayi dalam pelukan ibu, kemudian kita akan saling membagi kenangan.
Duhai kabut, saudara perempuanku, dengan sekerat hati yang mengumandangkan deburannya dari lubuk yang paling dalam seperti hatimu, aku kembali datang. Sebuah ambisi yang bergejolak tapi tak memiliki tujuan, laksana ambisimu. Sebuah pikiran yang belum terleburkan, seperti pikiranmu.
Duhai kabut, saudara perempuanku, puteri sulung ibu. Dalam telapak tanganku, masih kugenggam benih-benih hijau untuk kutaburkan. Bibirku mengatup rapat buat mendendangkan irama yang engkau harapkan. Tapi aku tak menjinjing apapun, termasuk suara, lantaran tanganku buta dan bibirku kaku.
Duhai kabut, saudara perempuanku, betapa besar kecintaanku pada dunia, sebagaimana dunia yang teramat sangat mencintaiku. Senyumanku tersimpul di bibirnya dan airmatanya mengalir di tanggul mataku. Tetapi terdapat sebuah jurang maha terjal yang tak kuasa disambungkan jembatan apapun di antara kita. Maka aku pun tak mungkin melangkah.
Duhai kabut, saudara perempuanku, kabut suci, kudendangkan irama dulu untuk anak-anakku. Dengan kebahagiaan yang menyemburat dari wajahnya, mereka menyimak iramaku. Namun barangkali besok mereka akan mengabaikan iramaku. Tanpa pernah kutahu untuk siapakah angin menerbangkan irama itu. Irama itu akan tetap menziarahi hatiku sekalipun memang bukan akulah satu-satunya yang memilikinya, Kemudian sekilas bertapa di bibirku.
Duhai kabut, saudara perempuanku, aku merasa tenang dan damai kendati segala sesuatu telah berlalu. Aku telah cukup bahagia telah menyanyikan irama bagi yang telah lahir. Walaupun irama itu memang bukan milikku, tetapi ia begitu kuat menghujam ke pangkal hatiku yang paling dalam.
Duhai kabut, saudara perempuanku, engkaulah saudaraku. Aku kini datang untuk menyatu denganmu. Aku tak lagi seorang diri. Lantaran telah kujebol dinding-dinding. Telah kulumat belenggu-belenggu. Dengan menghapirimu, kabut, aku bangkit dan bersama-sama kita akan mengarungi lautan lepas sampai hari kedua kehidupan berkumandang. Manakala sang fajar menelungkupkan dirimu, maka tetes-tetes embun akan bertaburan di taman. Dan aku akan menjelma bayi yang mengkeret dalam pelukan sang ibu.
No comments:
Post a Comment