Friday, July 23, 2010

Hikayat Al-Mustafa (Bagian Kelimabelas - II)

  
  Sambil bangkit dari meja jamuan, ia melangkah di bayang-bayang pohon ketika matahari tampak kian pucat menuju ke taman. Mereka yang sesungguhnya tengah menyimpan kenestapaan dengan lidah kelu yang mengkerut di langit-langit mulutnya bergegas mengiringi langkahnya. Kecuali itu, stelah merapikan semua peralatan, hanya Karima lah yang buru-buru menghadapinya. "Aku mohon ijin untuk menyuguhkan makanan buat besok dan sekaligus bekal petualanganmu."
  Dengan pancaran mata yang sanggup membelah dunia angan-angan, Al-Mustafa mencermati wajah Karima. "Saudaraku dan kekasihku," ujarnya kemudian. "Sejak permulaan waktu semua bekal telah terduguhkan. Tak ada bedanya dengan kemarin dan kini, semua makanan untuk besok hari telah tersiapkan. Kalaulah kepergianku menyisakan nilai kebenaran yang belum termaklumkan, maka kebenaran hakiki akan mengikutiku dan kemudian merengkuhku. Walaupun untuk itu jasadku akan berantakan menyebar pada semua bentuk kesunyian abadi. Aku muncul di antara kalian, sekali lagi, hanya untuk mengumandangkan irama yang kembali bersemi dari hati kesunyian yang tak memiliki batas-batas. Maka undanglah aku jikalau masih tersisa keindahan yang belum ku utarakan kepada kalian hanya dengan sekali menyebut nama Al-Mustafa. Aku akan segera memberikan kalian sesuatu pertanda agar kalian menyadari betapa aku telah hadir kembali untuk menggunjingkan banyak hal yang belum terjelaskan. Ketahuilah bahwa Tuhan tidak akan menyakiti diri-Nya melalui penyembunyian-penyembunyian diri-Nya dari manusia. Semua titah-Nya akan bersemayam di balik rongga dada manusia.
  Di balik kematianlah aku akan senantiasa hidup sambil melagukan irama sahdu ke telinga kalian. Bahkan sekalipun gelombang besar menghantamku sampai terhempas ke dasar samudera luas. Aku akan hadir saat jamuan kalian kendati tubuhku telah tercerai-berai. Laksana ruh misterius yang tak berwujud, aku akan memasuki ladan bersama kalian, mengunjungi kalian di dekat perapian sebagai tamu yang tak pernah kalian ketahui. Ingatlah, kematian tidak menghadiahkan apapun kecuali menyingkap topeng yang menyelubungi wajah kalian. Penebang pohon akan saja menjadi penebang pohon, pengolah ladang akan pula menjadi pengolah ladang, serta siapapun yang menyanyikan dendangan kepada angin pun akan senantiasa mengumandangkannya kepada gelaran angkasa."
  Mereka semua masih terbungkam dan dalam kepiluan yang meronai hati mereka Al-Mustafa kembali berkata, "Aku harus pergi." Tak ada yang mencoba merintangi laju kaki Al-Mustafa serta untuk mengikuti langkahnya. Ia pun meninggalkan taman ibunya dengan sepasang kaki yang melaju cepat. Para muridnya membisu semua, tanpa seutas ucapan pun yang melompat dari bibir mereka. Dan seperti sehelai daun yang dibubungkan badai, dalam sekilas Al-Mustafa telah meninggalkan mereka. Mereka hanya menangkap sekuntum cahaya kusam yang menjulang tinggi membelah cakrawala.
  Kesembilan murid itu segera melangkah hendak pergi. Tinggalah Karima yang mematung seorang diri di bawah gulita malam seraya menyimak titik temu cahaya dan senjakala. Dengan meminjam suara sang Guru, ia berupaya menghibur kesunyian dan kedukaannya, "Aku memang harus pergi. Jika kepergianku menyisakan kebenaran yang belum terpahami, sungguh kebenaran hakiki akan segera mengikutiku dan merengkuhku. Sekali lagi, aku memang akan kembali."

(Kahlil Gibran)

No comments:

Post a Comment