Thursday, May 13, 2010

Budidaya Cacing Tanah

  
  Pada akhir tahun 1990-an, cacing tanah pernah diisukan sebagai komoditas penting untuk di eskpor ke Hong Kong sebagai bahan obat dan kosmetik. Waktu itu, harganya mencapai Rp. 250.000 per kilogram. Ternyata, informasi tersebut tidak benar.
  Namun, sekarang cacing tanah justru punya prospek yang lebih baik. Misalnya, sebagai penghancur sampah organik serta penghasil kascing (bekas cacing atau kotoran cacing). Keduanya merupakan pupuk organik berkualitas tinggi. Dan, cacing tanahnya sendiri menjadi pakan itik dan ikan konsumsi.
  Sampah organik adalah makanan cacing tanah. Limbah organik rumah tangga yang dimasukkan ke dalam wadah ember plastik akan dihancurkan cacing tanah. Selain bahan organik yang tidak tercerna tetapi sudah terkomposkan, dalam kontainer ini juga akan dihasilkan kotoran cacing yang disebut kascing.
  Kascing berupa serbuk, dengan butiran berbentuk kapsul sepanjang satu milimeter (mm), diameter 0,5 mm, berwarna hitam kecoklatan, dan biasanya akan mengumpul di atas kontainer. Kita bisa mengeringkannya atau langsung dipakai sebagai pupuk organik.
  Kandungan kascing antara lain hormon giberelin, sitokinin, auksin dan asam humat yang mampu meningkatkan mikroorganisme tanah semisal azotobacter, azospirilium, aspergillus, bacillus, dan lactobacillus. Berbagai mikroorganisme itu diperlukan tanaman.
  Di dunia ini, total ada sekitar 6000 spesies cacing tanah, tetapi hanya sekitar 120 spesies yang penyebarannya cukup luas.
  Cacing tanah yang berpotensi untuk diternakkan adalah cacing merah genus lumbricus yang berbentuk pipih, penampang 0.5 cm, lembek, dan gerakannya lamban. Warnanya coklat kemerahan, dan panjang maksimal 8 cm.
  Cacing tanah genus ini mudah dibedakan dengan genus pheretima, yang lazim disebut cacing kalung. Bentuk cacing tanah ini bulat, kekar, berpenampang 0,7 cm, dan gerakannya gesit. Warnanya coklat terang keunguan, dengan panjang maksimal 12 cm. Kascing dari cacing lumbricus berbentuk butiran, sedangkan kascing dari cacing pheretima berupa gumpalan lengket yang berukuran lebih besar, dan lebih lama keringnya.

Dua Pola Pemeliharaan

  Memelihara cacing tanah lumbricus relatif mudah. Benih bisa diperolah dari alam. Misalnya, di sekitar kandang ternak atau di bawah rumpun pisang. Dari benih sekitar satu genggam, dalam satu bulan sudah diperoleh 2 kg sampai 3 kg cacing tanah.
   Sesuai dengan tujuannya, memelihara cacing tanah dibedakan menjadi dua model. Pertama, pemeliharaan dengan tujuan untuk menghancurkan sampah. Pemeliharaannya memakai kotak kayu, plastik atau wadah lain. wadah ini harus ditaruh di tempat yang teduh, tidak tersiram hujan dan tidak terkena langsung panas matahari.
  Wadah ini di isi kompos atau pupuk kandang yang sudah jadi, ditaburi makanan cacing (bahan nabati) dan ditaburi lagi kompos yang sudah jadi. Setelah itu, benih cacing dimasukkan ke dalamnya.
  Tanda bahwa media itu cocok, cacing yang disebar akan langsung masuk ke dalamnya. Kalau cacing menyingkir ke tepi, berarti media itu tidak cocok. Jika sesuai, barulah sampah organik ditaruh di atasnya secara kontinu. Secara bertahap, kascing bisa diambil sebagai pupuk.
  Kalau tujuan utamanya untuk dipanen, model pemeliharaan cacing menggunakan rak-rak bambu dengan plastik yang diikatkan pada rak itu.
  Media pemeliharaannya pupuk kandang yang sudah jadi dan secara bertahap diberi kotoran sapi, kerbau, kuda, kambing, domba dan kelinci. Pupuk kandang matang hanya media tempat tinggal cacing. Sementara, kotoran ternak jadi pakan cacing. Dengan pola ini, cacing tanah akan tumbuh pesat hingga bisa dipanen secara periodik sebagai pakan itik atau ikan.
  Cacing tidak bisa hidup dalam media yang tercampur sabun (soda), garam, asam, tanin, dan bahan kimia lainnya. Sebagai penghancur sampah organik, cacing tanah bisa diberi sisa-sisa sayuran, kulit buah, sampah daun-daun kering, dan potongan rumput.
(KONTAN)

No comments:

Post a Comment