Al-Mustafa melangkah gontai ke taman orang tuanya, lalu menyelinap kedalamnya dan kemudian menutup pintu gerbangnya. Tak ada seorangpun yang pernah diijinkannya untuk mengiringi langkahnya. Dia mendekam di taman itu dalam sebuah bangunan selama empat puluh hari empat puluh malam. Semua orang telah mengerti apa yang diinginkannya untuk menyendiri sehingga tak ada seorangpun yang berkunjung atau menjenguknya melalui pintu gerbang yang mengatup rapat itu.
Barulah selepas empat puluh hari empat puluh malam ia menguak pintu gerbang tamannya sebagai pertanda bahwa ia telah bersedia menyambut kunjungan mereka yang ingin menjumpainya. Ada sembilan orang yang mendatanginya; tiga awak kapalnya sendiri, tiga lainnya adalah orang-orang yang membantunya dalam upacara di kuil dan tiga orang lagi adalah kawan-kawan sepermainannya di masa silam. Semua orang itu adalah murid-muridnya.
Ketika sang fajar merekah, kesembilan murid itu mengitarinya dengan masing-masing wajah menempiaskan tatapan yang menerawang jauh ke masa lalu dengan bola mata yang mengerami berjuta kenangan. Hafiz, salah seorang muridnya, berkata padanya, "Guru, tuturkan apa yang disebut dengan kota Orphalese serta negeri-negeri yang telah engkau huni selama dua belas tahun."
Mata Al-Mustafa melayang jauh ke bentangan bebukitan serta keluasan angkasa. Hatinya berkecamuk dalam kesunyian. "Sahabat-sahabat dan kawan-kawan perjalananku," ujarnya kemudian. "Sungguh celaka bangsa yang tak memiliki agama sekalipun dijubeli oleh kepercayaan-kepercayaan. Sungguh nista bangsa yang mengagungkan orang dzalim laiknya pahlawan dan menyanjung-nyanjung penjajah sebagai bangsa yang berkuasa perkasa. Sungguh rendah bangsa yang melecehkan ambisi mimpi-mimpi tetapi terkulai lemas tatkala jaga.
Betapa celaka bangsa yang tak berani menyampaikan kata-katanya sendiri kecuali bila tengah bergandengan mesra dengan liang kubur. Bangsa yang tak menyimpan kebanggaan kecuali ketika sedang tengkurap di antara puing-puing keruntuhannya. Bangsa yang tidak menggeliat bangkit kecuali manakala batang lehernya telah dikalungi oleh mata pedang dan tempat pemancungan.
Celakalah bangsa yang memiliki negarawan berupa seekor serigala, yang memiliki filosof berupa para penipu dan memiliki karya seni berupa tiruan-tiruan. Betapa malangnya bangsa yang menyambut penguasa barunya dengan mengumandangkan tiupan terompet-terompet, lalu menangis penuh duka waktu mengucapkan selamat tinggal padanya, tetapi kemudian menyambut penguasa baru penggantinya dengan tiupan terompet-terompet yang sama. Celaka benar bangsa yang hanya memiliki cendekiawan yang bertahun-tahun tumpul telinganya dan orang-orang kuatnya masih mengeram dalam kereta-kereta bayi.
Celakalah sebuah bangsa yang terbelah-belah dalam bagian wilayah-wilayah, dan setiap bagiannya memproklamasikan dirinya sebagai suatu bangsa."
(Kahlil Gibran)
No comments:
Post a Comment