Al-Mustafa mengayunkan tapak kakinya di atas jalan setapak yang akan menghantarnya ke sebuah taman yang dimiliki orang tuanya, di mana jasad ayah dan ibu beserta leluhurnya disemayamkan, meninggalkan mereka semua. Mereka yang akan mengiringinya serta-merta menyadari bahwa kejadian itulah yang menjadi simbol bagi kembalinya sang guru. Di antara orang banyak, sang guru merasa sangat kesepian lantaran tidak ada lagi sanak-kadang yang menyambutnya dengan penuh sorak sorai bahagia.
Tetapi nahkoda kapal mengingatkan mereka dengan suaranya yang lantang, "Jika dia menempuh jalan itu, dia akan menderita. Makanannya cumalah roti kesunyian dan piala minumannya hanya menampung anggur nostalgia silam yang akan direguknya seorang diri."
Para pelaut seketika menguburkan niatnya untuk mengiringi sang guru. Mereka tahu hanya kejadian itulah yang di inginkan oleh sang nahkoda kapal. Semuanya yang berkerumun di pinggir pantai itupun segera menyimoan niat dan hasratnya.
Kecuali itu, hanya Karimalah yang menyusul langkah sang guru dalam jarak beberapa meter di belakangnya. Al-Mustafa terbelenggu dalam kesunyian dan nostalgia masa silamnya. Tetapi sejurus kemudia Karima berbalik arah dan melangkah ke rumahnya. Di bawah sebuah pohon Almon dalam sebuah taman, entah lantaran apa ia sedang mengalirkan air matanya.
No comments:
Post a Comment